Langsung ke konten utama

Ruang Tersunyi

Ruang Tersunyi
Oleh M Irfan Hidayatullah

Hayat dan Mamat kembali ke perpustakaan, ruang tersunyi itu. Lumayan masih ada sekitar lima belas menit lagi sebelum masuk kelas, pikir mereka.
“Menurutku buku itu terlalu rame,” Mamat mengawali pembicaraan di bangku baca di sudut perpustakaan sekolah yang dikunjungi oleh hanya lima siswa plus penjaga perpus yang terkantuk-kantuk.
“Buku mana maksudmu?” tanggap Hayat.
“Itu, Druken Monster-nya Pidi Baiq. Kan, tadi kamu ngajak mendiskusikannya?”
“Oh, iya… lupa aku… mmmh… aku sepakat. Buku itu bahasanya memang rame. Kita seperti disuguhi sebuah gagasan yang loncat-loncat, tapi mengasyikan. Lucu dan banyak pikiran yang tidak umum. Tapi serame apa pun buku, ia tetap sebuah ruang paling sunyi.”
“Nanti dulu…apa katamu tadi?”

“Buku adalah ruang tersunyi.”
“Wah, idiom bagus tuh, Yat. Aku tulis, ah…mmm, tapi betul begitu?”
“Nggak tahu, sih, tapi ini menurut perasaanku saja. Buku hanya menyediakan ruang riuh, rame, bahkan kecamuk perang dalam kepala kita saja. Pada kenyataannya ia tetap menjanjikan kesunyian.”
“Ha…ha… dasar predator buku! Kalau menurutku sih, buku tetap buku. Nggak kepikiran ke situ.”
“Ya, nggak apa-apa juga sih. Masing-masing punya pendapat sendiri tentang sesuatu, termasuk buku.”
“Saya sepakat! Tapi saya lebih sepakat dengan Hayat tadi bahwa buku adalah ruang tersunyi. Coba baca buku ini!” pak Nurzaman seperti tiba-tiba hadir di antara Hayat dan Mamat. Mereka melongo menyikapi kehadiran mendadak itu. Pak Nurzaman menyodorkan sebuah buku tebal berjudul Bukuku Kakiku.
(Pak Nurzaman adalah guru favorit Hayat dan Mamat. Guru matematika yang suka baca dan suka menulis. Tak jarang mereka mendiskusikan banyak hal tentang buku. Dan kali ini ia juga menyodorkan buku. Hayat dan Mamat tentu saja bengong dan sedikit grogi, tapi dalam kekagetan Hayat menerima buku yang disodorkan Pak Nurzaman.)
“Buku memang ruang tersunyi. Ia menjanjikan dunia imajiner yang mengasyikan dan sangat personal. Sebingar apapun peristiwa yang digarap di dalamnya, ia tetap menjanjikan perenungan. Hal ini sangat jauh berbeda dengan media informasi lainnya yang bersifat langsung, seperti tontonan atau dongeng lisan, interaksi dengan buku bisa dikontrol penuh oleh pembacanya. Saat menonton film bioskop, misalnya, kita dibombardir dan dikuasai oleh medium seni yang berisi bunyi, gerak visual, warna, cahaya, bahasa tulis. Penonton tidak bisa menunda klimaks, kecuali meninggalkan tontonan yang sedang berjalan. Jadi, interaksi personal dengan buku-buku dalam berbagai tataran ini adalah pengalaman yang sulit digantikan secara persis oleh medium-medium informasi lainnya.
“Setidaknya itu yang ditulis Melani Budianta menyangkut pengalamannya dengan buku. Begitu pula dengan Budi Darma, ia merasakan bahwa buku adalah tempat berdialog dengan diri sendiri. Dan beliau mengungkapkan bahwa membaca buku hakikatnya adalah bermain-main dengan imajinasi. Nah, permainan itu adalah dialog-dialog seseorang dengan dirinya sendiri,misalkan dalam buku itu ada bidadari, interaksi antara pembaca dengan tokoh bidadari itu hakikatnya adalah dialog dengan diri sendiri. Semua itu tertulis dalam buku itu.”
Hayat dan Mamat masih melongo mendengarkan Pak Nurzaman berbicara, karena tak semua yang dibicarakannya mereka mengerti.
“Ya udah, baca buku ini saja dulu, tadinya mau Bapak balikin, tapi Bapak perpanjang aja untuk kalian. Pekan depan kita diskusikan. Oh ya, Hayat, filosofi kamu tentang buku sebagai ruang tersunyi tadi sebaiknya ditulis. Dua hari lagi Bapak ingin baca tulisan kamu,” tegas Pak Nurzaman.
Hayat dan Mamat masih melongo. Terutama Hayat yang ketiban tugas dadakan dari pak Nurzaman.
Bel berbunyi nyaring, tanda mereka harus kembali ke kelas. Kembali pada realita.

Majalah Annida, September 2008

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Monolog Tentang Hujan

Sebuah Catatan KM.2* Pagi masih teramat buta dan aku gegas dalam jagaku sesubuh ini. Merasakan irama tetesan yang mampir keroyokan di ladang hidupku. Aku menengadahkan dagu, menatap rintik lewat lubang rengkawat yang orang bilang sebagai jendela sederhana milik keluarga kami. Kupandangi gelap subuh yang bercahaya, tetesan hujan yang tersorot lampu rumah seberang. Aku bertanya, kapan hujan usai? Kubuka handphone, seseorang bertanya tentang kotaku yang semalaman diguyur hujan. Pertanyaan dari pesan masuk yang aku tanggapi hanya dengan diam. Termenung.  Sambil terus menatapi tetes demi tetes cinta-Nya yang tak kunjung reda. Barangkali menggambarkan suasana hati. Hati siapa entah. Sejenak teringat agenda hari ini, Taman Baca Keliling (TBM) di KP. Tentunya buku-buku itu tak akan pernah mampu berdamai dengan basah, bukan? Aku tak cukup waktu untuk mengambil keputusan membatalkannya, kegiatan yang betapa lampau kami impi dan cita-citakan. Bukan sekedar itu malahan, kami memban...

Mengisi Waktu Luang dengan Belajar Bahasa Inggris

Ada banyak cara untuk menghabiskan waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaat, diantaranya bisa melakukan hobi, mengasah kemampuan, atau melakukan hal-hal yang belum pernah dicoba sebelumya. Jika kita beralasan malas keluar rumah untuk melakukan hal-hal tersebut, saat ini dengan kecanggihan teknologi kita dapat melakukannya secara online . Salah satunya adalah belajar bahasa Inggris online , hal ini bukan tidak mungkin untuk dilakukan.  Belajar bahasa Inggris online bisa dilakukan dengan otodidak ataupun dengan bantuan profesional seperti guru bahasa Inggris di tempat kursus. Kita bisa menganalisisnya terlebih dahulu sesuai dengan kebutuhan, jika dirasa memiliki biaya yang cukup dan juga waktu yang cukup untuk belajar sesuai jadwal yang ditentukan oleh tempat kursus, kita bisa memakai jasa tersebut untuk memperlancar kemampuan dalam berbahasa Inggris.  Jika kita memilih untuk belajar bahasa Inggris secara otodidak karena mempertimbangkan biaya yang cukup banyak akan...

Resensi Novel Rengganis Altitude 3088

Rengganis, Novel  Tentang Pendakian Judul Buku: Rengganis Altitude 3088 Penulis: Azzura Dayana Penerbit: Indiva Media Kreasi Tahun Terbit: Agustus 2014, Cetakan Pertama Jumlah Halaman: 232 Hal ISBN: 978-602-1614-26-6 Cover Novel Rengganis Dia baru saja menyelinap keluar. Terbangun oleh gemerisik angin yang menabrak-nabrak tenda. Dua lapis jaket membungkus tubuhnya. Satu jaket polar dan satu jaket parka gunung. Tak ada seorang manusia lain pun yang terlihat. Seluruh penghuni kerajaan sang dewi telah tertidur. Pandangannya lurus ke depan. Kemudian, tiba-tiba saja tatapannya berubah menjadi tajam. Sangat tajam. Menatap lekat sesuatu. Atau lebih dari satu. Perlahan-lahan dia berjalan meninggalkan tenda. Meninggalkan teman-temannya yang tidur di dalam tenda. Menjejaki rerumputan basah dalam langkah-langkah pasti. Dermaga itu tujuannya. Mendekati tarikan magnet bercahaya. Memanggil-manggilnya dengan suara tak biasa. Rengganis, pentas apa sebenarnya yang tengah dilang...