oleh: Lina Astuti
Membaca cerpen ini rasanya saya ataupun siapa saja yang membacanya, akan mengingatkan kita pada seseorang yang telah pergi meninggalkan kita. Entah itu pergi karena satu hal keperluan, karena bermasalah dengan kita, atau terlebih meninggalkan kita untuk selamanya karena satu hal yang tak bisa dihindari oleh siapapun; kematian. Yang sama-sama akan menimbulkan rasa kerinduan dan kenangan.
Kepergian seseorang yang kita cinta itu terkadang menjadi titik balik, di mana kita dalam fase ‘sadar’ bahwa kita pernah memiliki, pernah menorehkan cerita kehidupan bersamanya, dan tentunya akan ada rutinitas yang biasa dikerjakan bersamanya yang akan kita rindukan; kita akan merasa ada yang berbeda ketika seseorang itu pergi.
“Rasa rindu, sedih dan kehilangan itu akan selalu hadir untuk orang yang berarti di hati kita. Apalagi untuk orang yang sering bersama dengan kita selama ini tiba-tiba sudah tidak ada.”
Ketika Harus Kehilangan adalah salah satu judul dari kumpulan cerpen dengan judul yang sama. Cerpen ini berkisah tentang seorang perantau yang mudik ke kampung halamannya di saat idul fitri. Minimal pada moment itulah biasanya para perantau mempunyai waktu luang untuk pulang, untuk melepas rindu dengan sanak saudara. Tapi ada hal yang berbeda, ketika pulang ternyata orang yang biasanya menyambut kepulangannya telah tiada, ialah ayah dari tokoh ‘saya’ di dalam cerpen ini.
“Dan kini, hari-hari saya di saat makan sahur dan buka puasa, terasa sangat beda. Biasanya pada waktu mau berbuka, ibu dan dua adik saya sudah siap-siap menggelar tikar dan menaruh semua makanan untuk berbuka. Bapak selalu duduk di sebelahnya ibu. Saya dan dua adik saya duduk di hadapan mereka. Tapi kali ini saya yang duduk di sebelah ibu. Suasana buka yang benar-benar terasa beda.”
Entah mungkin karena saya pun pernah merasakan kehilangan atau bagaimana, ketika membaca cerpen ini begitu sangat terasa suasana duka dan kehilangan. Saya merasakan suasana hati tokoh ‘saya’ dalam cerita pendek ini. Penulis pandai menyusun kata hingga setiap kalimat terasa begitu bisa terhayati, hingga saya juga merasakan rasa kehilangan si tokoh yang diceritakan dalam cerpen ini.
Bagaimanapun, ada yang datang dan ia akan pergi pada waktunya, yang pergi mungkin tak akan pernah kembali. Yang bisa kita lakukan hanyalah ikhlas melepaskan, karena semuanya adalah ketentuan dari-Nya
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.” (QS. Al_IMran 145)
===================================================================
NB: Teruntuk sahabat sekaligus abang saya bang Israk Patari, saya janjiin review udah lama ya, bang? maaf baru kesampaian.
Buku ini saya dapat dari beliau, waktu itu pas acara launching buku 'Segalanya Bagiku' di Jakarta. bang Israk bilang, "gak apa-apa, nanti kiita barter aja, ok! kalau karyamu selanjutnya terbit, ya." Tapi sampai hari ini belum ada yg terbit lagi T.T, dengan mengingat kata-kata beliau moga2 jadi pemacu lagi untuk terus menulis dan berkarya.
thank u jiddan, bukunya suka bgt.
Kenangan nunggu di halte busway ps.senen, naik bus, naik bajaj bareng ^^ , packing kue untuk peserta launching, nyari alamat dan nyasar bareng :p, makasih juga udah jagain saya waktu perjalanan ke tanah abang 3.. itu gakaan terlupakan.
Salam untuk anak dan istrinya, ya :)
semoga ukhuwah kita tetap terjaga :)
Komentar
Posting Komentar