Langsung ke konten utama

Monolog Tentang Hujan


Sebuah Catatan KM.2*

Pagi masih teramat buta dan aku gegas dalam jagaku sesubuh ini. Merasakan irama tetesan yang mampir keroyokan di ladang hidupku. Aku menengadahkan dagu, menatap rintik lewat lubang rengkawat yang orang bilang sebagai jendela sederhana milik keluarga kami. Kupandangi gelap subuh yang bercahaya, tetesan hujan yang tersorot lampu rumah seberang. Aku bertanya, kapan hujan usai?

Kubuka handphone, seseorang bertanya tentang kotaku yang semalaman diguyur hujan. Pertanyaan dari pesan masuk yang aku tanggapi hanya dengan diam. Termenung.  Sambil terus menatapi tetes demi tetes cinta-Nya yang tak kunjung reda. Barangkali menggambarkan suasana hati. Hati siapa entah. Sejenak teringat agenda hari ini, Taman Baca Keliling (TBM) di KP. Tentunya buku-buku itu tak akan pernah mampu berdamai dengan basah, bukan? Aku tak cukup waktu untuk mengambil keputusan membatalkannya, kegiatan yang betapa lampau kami impi dan cita-citakan. Bukan sekedar itu malahan, kami membangun mimpi ini dengan semangat dan perjuangan. Yang barangkali sekejap bakal luntur oleh tetesan hujan.
Aku di muara harap. Barangkali beberapa jeda waktu akan hadir sinaran dari bola lampu kehidupan dunia, meski malu-malu. Setidaknya awan-awan itu akan berhenti menangis. Kusarankan pada Rabb agar mengirimkan angin guna mengusir mendung, dalam setangkup doa.  Pinta di muara harap.

Mendung juga menggelayut pada kelopak matamata panda para pengungsi. Hampir sepekan kotanya diguyur hujan. Banjir kiriman, katanya. Sebagian mereka tak habis pikir. Mana ada kota yang mampu mengirimkan banjir, ah..kalimat itu hanya sebatas lelucon penghibur lara atau sebagai kambing hitam saja. Bukankah Allah mengirimkan hujan dengan segala keistimewaannya? Tapi, barangkali hal ini hanya berlaku bagi orang-orang yang berfikir. Berfikir bahwa segala sebab tentu menuai akibat.
Sementara itu, di suatu tempat sana, sekelompok orang yang berkepentingan tengah menaksir hujan dengan beberapa kepentingan pula. Mengkalkulasikan berapa banyak  indomie dan susu bayi yang bisa ditukar dengan suara untuk kursi panas bagi tunggangan yang mereka sebut sebagai ‘partai politik’. Politikus tengik! Para pengungsi menghardik di belakang. Terima saja bantuan dari mereka, tapi jangan harap di hari ketika pesta rakyat digelar, mereka memilih salah satu darinya yang menyeringai lapar kekuasaan.


Lalu, bocah-bocah bertelanjang kaki. Payung warna-warni mereka mengembang lebar, selebar lembar-demi lembar uang yang diraup dengan gigil dan sekuyup senyuman. Menawarkan jasa untuk mereka yang enggan atau lupa membawa pengaman hujan.

Dan di gelaran sajadah lusuh, seorang ibu yang berprofesi sebagai buruh cucipun mengiba tentang hujan. Ia bergumal dengan entah. Apa perlu meminta agar tetap hujan, agar istri-istri yang sibuk atau mungkin, maaf, malas itu mengalihkan cucian keluarga mereka padanya. Atau malah ia harus mengiba agar hujan reda, supaya jemuran yang sudah menghiasi emper kontrakannya selama tiga hari itu gegas kering, lekas bertukar dengan lembaran nominal mata uang untuk kehidupan.

Dalam pemikiran dangkalku, barangkali para malaikat yang bertugas mengguyur bumi  tengah dirundung dilema. Kira-kira harap mana yang akan Allah kabulkan. Sementara segala doa akan dijawab, cepat atau lambat. Atau, harapan mana yang paling kuat?



*Kampanye membaca dan menulis yang diadakan FLP Karawang, diantaranya adalah gerakan TBK (Taman Baca Keliling)

Tulisan ini diikutsertakan dalam Giveaway Cerita Bersama Hujan yang diadakan oleh Kang @fredy_ae :)

Komentar

  1. ada berkah di setiap hujan ya, mba. bagi para pencari rezeki tetap Allah bagikan lewat pintu mana saja, bahkan di saat hujan sekalipun.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Tersayang Memang Gak Boleh Sakit

Beberapa hari ini hujan terus, sampai-sampai cucian tiga hari gak kering-kering. Bukannya gak bersyukur. Hujan kan rahmat ya. Tapi kalau curah hujannya tinggi dan turun dalam waktu yang lama jadi khawatir juga kan. Sebetulnya ada hal yang lebih saya khawatirkan dibanding cucian, perubahan cuaca kadang bikin orang-orang gampang sakit. Apalagi kalau sistem imunnya gak bagus ditambah gaya hidup yang gak teratur. Ngomongin gaya hidup yang gak teratur, yang saya inget pertama kali adalah suami. Soalnya kan suami biasa ‘ngalong’ alias kerja malam, sering begadang, dan makannya juga suka gak teratur. Terlebih saya dan suami hubungan jarak jauh, beliau pulang ke rumah setiap akhir pekan. Jadi kesempatan saya buat ngerawat dan ngingetin ini-itu ke suami juga terbatas, paling cuman lewat whatsapp dan telpon. Saya selalu ngerasa kalau orang-orang terdekat sakit itu enggak enak, bukan semata-mata kita jadi repot ngurusin. Tapi rasa khawatirnya itu lho. Gak tega kan lihatnya. Bener ba...

Sambal Tempe Ayam Suwir SO GOOD, Variasi Menu Piring Gizi Seimbang

Para emak pasti setuju kalau aktifitas masak-memasak itu menguras empat hal ini: waktu, tenaga, materi, dan pikiran. Saya pribadi sebagai istri dan ibu baru merasakan banget, terlebih di awal-awal pernikahan dan sekarang ditambah punya bayi yang sudah diberi MPASI. Mencari resep baru dan mencobanya seakan menjadi rutinitas saya setiap hari, hal tersebut tentu bertujuan agar bisa mengefektifkan empat hal yang saya sebutkan di atas. Selain itu juga saya menekankan pada menu gizi seimbang supaya kebutuhan gizi saya dan keluarga tercukupi. Kalau dulu, sih, terkenalnya dengan istilah 4 sehat 5 sempurna, ya. Kalau sekarang diganti menjadi menu gizi seimbang. Dilansir dari Official Instagram So Good (3/3/2018), bahwa menu gizi seimbang terdiri dari 35% karbohidrat, 15% protein, dan 50% buah dan sayuran. Karbohidrat dibutuhkan sebagai sumber energi utama, protein berperan penting untuk sistem di dalam tubuh, sedangkan buah dan sayur mengandung vitamin dan mineral sebagai nutris...

Resensi Novel Rengganis Altitude 3088

Rengganis, Novel  Tentang Pendakian Judul Buku: Rengganis Altitude 3088 Penulis: Azzura Dayana Penerbit: Indiva Media Kreasi Tahun Terbit: Agustus 2014, Cetakan Pertama Jumlah Halaman: 232 Hal ISBN: 978-602-1614-26-6 Cover Novel Rengganis Dia baru saja menyelinap keluar. Terbangun oleh gemerisik angin yang menabrak-nabrak tenda. Dua lapis jaket membungkus tubuhnya. Satu jaket polar dan satu jaket parka gunung. Tak ada seorang manusia lain pun yang terlihat. Seluruh penghuni kerajaan sang dewi telah tertidur. Pandangannya lurus ke depan. Kemudian, tiba-tiba saja tatapannya berubah menjadi tajam. Sangat tajam. Menatap lekat sesuatu. Atau lebih dari satu. Perlahan-lahan dia berjalan meninggalkan tenda. Meninggalkan teman-temannya yang tidur di dalam tenda. Menjejaki rerumputan basah dalam langkah-langkah pasti. Dermaga itu tujuannya. Mendekati tarikan magnet bercahaya. Memanggil-manggilnya dengan suara tak biasa. Rengganis, pentas apa sebenarnya yang tengah dilang...