Langsung ke konten utama

Ternyata, ini Adalah Obat Rindu

Hari ini saya masih begitu tertatih menuju majlis ilmu. Mengulur waktu ke tempat liqo untuk mampir ke Karang Pawitan terlebih dahulu. Untuk sekedar mengurai rasa rindu kepada tempat itu dan beberapa sahabat yang bisa saya temui di sana. Andai sebelumnya saya tahu, langkah saya yang tertatih menuju masjid Al-khoir, kampus UNSIKA tempat saya liqo kali ini akan memberikan sebuah jawaban, sebaik-baiknya jawaban. Serta mengajarkan hal sederhana yang begitu dalam maknanya. Tentang kata ‘rindu’. Bagaimana cara mengobati rasa yang kata Melly Goeslow sungguh menyiksa.

“Belakangan ini, ada satu hal yang sungguh mengganggu hari-hari saya,”

Di sesi sharing, seorang ukhti membuka obrolan.

“Hampir satu minggu ini saya didera rasa rindu yang akut,” begitu ujarnya lagi.

Hm... rindu? Pikiran saya langsung tertuju pada status FB seorang teman tadi pagi. Sebuah kutipan dari buku Tere Liye.

Aku harus menyibukkan diri. Membunuh dengan tega setiap kerinduan itu muncul. Ya Tuhan, berat sekali melakukannya. Sungguh berat, karena itu berarti aku harus menikam hatiku setiap detik.

Menyibukkan diri. Saya masih merasakan cara tersebutlah yang paling efektif untuk membunuh rasa rindu. Karena ketika kita diam dan lengah, tak melakukan apa-apa, ingatan kita cenderung aktif ke hal-hal yang seperti itu. Rindu, kadang melenakan. Membuat terpuruk. Membuat kita ingin gegas membersamai yang dirindu. Atau malah ingin menebas rindu dengan cara yang lain, lari ke pantai lalu membuang diri ke laut misalnya :D hehe.. Rindu yang keterlaluan. Fuhhh..

“Rindu kepada papa yang sudah meinggal sepuluh tahun yang lalu. Barangkali teman-teman punya solusi mengatasi rasa rindu yang akut tersebut?”

Saya hanya bisa terdiam mendengar kalimatnya yang terakhir. Sementara murrobiah kami membuka kesempatan, barangkali di antara kami berdelapan ada yang punya solusi guna mengatasi si rindu ini.
Hingga seorang di antara kami angkat bicara. Seorang ukhti yang ketika saya lihat wajahnya selalu tampak ceria tersebut memaparkan sedikit kisahnya yang tak jauh beda dengan ukhti yang melempar pertanyaan. Bahkan ia telah ditinggal ayahnya semenjak umur dua tahun.

Rasa rindu itu pasti ada. Pungkasnya pada kami. Terlebih ketika melihat anak-anak lain yang diantar papanya. Cemburu, pasti. Tapi hal tersebut menguatkan keyakinan bahwa sesungguhnya kita akan kembali sendiri. Mungkin sekarang tanpa ayah, besok barangkali ibu atau orang terkasih lainnya. Dan ketika mereka semua tiada, ternyata masih ada Allah, bukan?

Saya mengiyakan dalam hati. Bukankah Rasulullah pun lahir dalam kondisi yatim. Serta-merta saya kembali menyimak dengan tahzim kalimat demi kalimat yang diucapkan ukhti tersebut.
Teringat sebuah paparan dari buku yang saya baca. Ukhti tersebut melanjutkan ceritanya. Buku tersebut  ditulis oleh anaknya Buya Hamka, kalau tidak salah judul bukunya ‘Ayah’. Di situ diceritakan bahwa Ayahnya—Buya Hamka, amat sangat mencintai istrinya. Ketika istrinya mendahului beliau ke rahmatullah, barang tentu ayahnya sangat merasa kehilangan dan merindukannya. Kalian tahu apa yang dilakukan Buya Hamka jika malam menjelang dan rindu kepada istrinya yang sudah tiada tersebut kian menggebu?

Saya menggeleng. Membetulkan posisi duduk. Saya hampir selalu tertarik dengan pemaparan kisah orang-orang yang menyejarah. Tentu karena mereka adalah orang hebat pilihan yang istimewa.

Dua hal yang dilakukan oleh Buya Hamka bila rindu menyergap di malam-malam gelap namun tak mampu menutup rasa kehilangan. Pertama, ia membaca Al-Qur’an sebanyak-banyaknya. Bisa sepanjang malam, sampai rasa rindu itu sirna. Kenapa? Karena berdasarkan sifatnya, bahwa Al-qur’an adalah Assyifa yang artinya obat. Maka, jika rindu itu menjelma belenggu yang membuatnya sakit, Al-Qur’an adalah satu-satunya yang ia jadikan sebagai obat paling mujarab.
Saya tertegun. Menelan ludah. Jleb!!! Hei, selama ini apa yang saya lakukan guna mengobati rindu?

Yang kedua, Buya Hamka melakukan shalat taubat dua rakaat. Sebab ia tahu, bahwa rasa rindu tersebut merupakan bagian dari rasa cinta kepada istrinya. Namun, bila rindu itu terus menerus menyapa, ia khawatir rasa cinta pada istrinya jauh melebihi rasa cintanya kepada Allah. Itu alasan kedua kenapa Buya Hamka melakukan shalat taubat dua rakaat ketika rindu.

Saya terpaku mendengar penuturan ukhti tersebut. Ukhti yang bertanya pun terlihat puas dengan jawabannya.

Ah, ternyata obat rindu itu...

*ditulis berdasarkan diskusi liqo tadi siang, dengan redaksi sedikit berbeda
**Spesial untuk seorang sahabat dan sesiapa yang tengah ‘sakit’ karena rindu (termasuk diri)
***Jazzakillah khoir untuk saudariku nan shalihah, yang telah membersamai duduk gusar saya di majlis ilmu


Komentar

  1. Ani bagian dari curhatan apa?

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, mas. ini curhatan di acara pengajian/liqo. Semoga curhatannya bermanfaat. hehe :D

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Top bgt teh..
    aku org yg paling depan mensuport teh lina jadi penulis. Hehe.😅. (ciyahh.. edisi lebay)tp serius.

    Ditunggu tulisan selanjutnya.😄

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe... nuhun atas dukungannya, Mba Umm *peluk2* hohoho...

      Hapus
  4. Penulis mah idenya bisa datang dari mana saja...
    Jazakallah khoir tuk ukhti-ukhti nan solehah, jg tetehku :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya bener, Teh. Saya mungutin ide dari mana aja. tinggal menghilangkan rasa malas dan belajar lagi cara tehnik nulis yang bener.
      Waiyyaki :)

      Hapus
  5. Ternyata Teh Na suka ngikutin Tete Liye juga yaa..

    BalasHapus
  6. iya, Ri. Suka bgt sama quotes2nya Tere Liye. Baca novelnya juga suka :D

    BalasHapus
  7. Selalu terpesona dengan tulisan teh Lina ini. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aih... subhanallah. Saya merasa tersanjung. hehehe... Jazzakillah, daisssss :)

      Hapus
  8. Saya nyesel nggak ngedengernya langsung. Tapi untung ada teh Lina yang me-resume bahasan liqo' ahad kemarin :) Jazakillah, teh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. waiyyaki, Bungsu. Merindukanmu duduk bareng di majlis ilmu. Kita tangkap kata-kata dan memenjarakannya dalam tulisan, demi kebebasan ilmu pengetahuan *halah, apaan? :P

      Hapus
  9. Membaca tulisannya teh lina saya jadi merindu teman2 liqo'...
    Tulisannya menawarkan rasa rindu saya pada mama papa dirumah...ternyata ada yg lebih menikam rindunya ketimbang saya..

    Salam ukhuwah yaah teteh...
    Muthmainnah dari Gorontalo -Solo

    BalasHapus
    Balasan
    1. barokallah, Mba.. semoga rindunya terobati :)
      salam ukhuwah juga, mba Muthmainnah. Terima kasih sudah mampir :ng

      Hapus
  10. saya rindu juga sama bapak yg sudah tiada...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga bapaknya mba Eka mendapatkab tempat terbaik disana. Aamiin

      Hapus
  11. Kalau ulama, ngobatin rindunya ibadah.. Keren.. Semoga saya bisa seperti itu.. Aamiin..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berburu Oleh-Oleh di Singapura, Ini yang Bisa Kamu Bawa Pulang ke Indonesia

Salah satu hal yang identik dengan liburan adalah oleh-oleh. Meski bukan hal yang wajib, tapi kalau kata orang sunda mah oleh-oleh  sokan jadi arep-arepeun   nu di imah (jadi hal yang ditunggu-tunggu orang rumah)   dan   rasanya sayang kalau tidak membawa oleh-oleh khas dari suatu negara seperti Singapura. T-shirt I Love Singapure Sumber gambar: bacaterus.com Bingung mau bawa apa dari Singapura? Gantungan kunci atau t-shirt rasanya sudah biasa! Beberapa pilihan berikut ini mungkin bisa jadi ide berburu oleh-oleh nanti. Sumber: singaporetales.co.uk Keramik Yang satu ini oleh-oleh untuk diri sendiri, bisa dipajang di rumah sebagai tanda sudah pernah pergi ke Singapura . Keramik di Singapura sudah lama terkenal dengan kualitasnya yang bagus, dengan motif yang paling banyak dicari adalah gambar Merlion yang menjadi simbol Singapura. Bak Kwa (sumber: detik.com) Bak Kwa Makanan ini sejenis dendeng daging, dengan rasa yang unik dan pastinya lezat. Da...

Yang Tersayang Memang Gak Boleh Sakit

Beberapa hari ini hujan terus, sampai-sampai cucian tiga hari gak kering-kering. Bukannya gak bersyukur. Hujan kan rahmat ya. Tapi kalau curah hujannya tinggi dan turun dalam waktu yang lama jadi khawatir juga kan. Sebetulnya ada hal yang lebih saya khawatirkan dibanding cucian, perubahan cuaca kadang bikin orang-orang gampang sakit. Apalagi kalau sistem imunnya gak bagus ditambah gaya hidup yang gak teratur. Ngomongin gaya hidup yang gak teratur, yang saya inget pertama kali adalah suami. Soalnya kan suami biasa ‘ngalong’ alias kerja malam, sering begadang, dan makannya juga suka gak teratur. Terlebih saya dan suami hubungan jarak jauh, beliau pulang ke rumah setiap akhir pekan. Jadi kesempatan saya buat ngerawat dan ngingetin ini-itu ke suami juga terbatas, paling cuman lewat whatsapp dan telpon. Saya selalu ngerasa kalau orang-orang terdekat sakit itu enggak enak, bukan semata-mata kita jadi repot ngurusin. Tapi rasa khawatirnya itu lho. Gak tega kan lihatnya. Bener ba...

Monolog Tentang Hujan

Sebuah Catatan KM.2* Pagi masih teramat buta dan aku gegas dalam jagaku sesubuh ini. Merasakan irama tetesan yang mampir keroyokan di ladang hidupku. Aku menengadahkan dagu, menatap rintik lewat lubang rengkawat yang orang bilang sebagai jendela sederhana milik keluarga kami. Kupandangi gelap subuh yang bercahaya, tetesan hujan yang tersorot lampu rumah seberang. Aku bertanya, kapan hujan usai? Kubuka handphone, seseorang bertanya tentang kotaku yang semalaman diguyur hujan. Pertanyaan dari pesan masuk yang aku tanggapi hanya dengan diam. Termenung.  Sambil terus menatapi tetes demi tetes cinta-Nya yang tak kunjung reda. Barangkali menggambarkan suasana hati. Hati siapa entah. Sejenak teringat agenda hari ini, Taman Baca Keliling (TBM) di KP. Tentunya buku-buku itu tak akan pernah mampu berdamai dengan basah, bukan? Aku tak cukup waktu untuk mengambil keputusan membatalkannya, kegiatan yang betapa lampau kami impi dan cita-citakan. Bukan sekedar itu malahan, kami memban...