Bukan hanya sekolah dan buku yang mengajarkanku banyak hal.
Ketika aku merasa sendirian, bapak mengajari aku tentang arti kesempatan untuk mendapatkan ketenangan. Menikmati setiap depa rasa rindu pada istri dan anak-anaknya. Di seberang pulau sana, bahkan ia mampu bertahan dari sepi yang menyusup dari musim tanam ke musim panen.
Saat aku merasa malas untuk belajar dan berbuat baik. Ibu mengajari aku untuk terus bergerak di tengah keterbatasan penglihatannya. Pergi ke pengajian setiap hari. Tetap aktif di perkumpulan ibu-ibu PKK, dan status sebagai kader posyandu pun tetap beliau sandang bertahun-tahun lamanya. Aku belajar dari keistikomahannya dalam berbuat sesuatu untuk lingkungannya.
Di kala aku mudah menduga-duga gelagat kurang baik orang lain padaku. Saudari-saudariku yang shalihah itu mengajariku tentang pentingnya berprasangka baik. Menuntunku untuk terus berusaha melembutkan hati. Mendukungku menjadi muslim yang pantang menyakiti dan pantang merasa tersakiti. Meski terasa sulit setengah mati.
Ketika aku mudah merasa bosan, anak-anak muridku mengajarkan bagaimana serunya menyusun jenis permainan yang tidak monoton. Yang bisa dimainkan seorang diri maupun berkelompok. Mengajarkanku bahwa hidup adalah memilih jalan bahagia. Dan menatap tawa keceriaan mereka ialah suatu kebahagiaan yang didapatkan dengan sederhana.
Aku belajar dari rasa iba yang Allah susupkan pada hati adik laki-lakiku kepada kakek-kakek penjual nasi goreng langganannya. Akupun belajar keikhlasan dari senyum anak muridku yang memiliki kekurangan fisik. Aku belajar dari santunnya penjaga sekolah kepada setiap orang yang ditemuinya.
Maka nikmat-Nya yang mana yang hendak kamu dustakan?
(QS. Arrahman)
Kita belajar sepanjang hayat. Lanjutkan !
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusbetul banget, Mas Koko. InsyaAllah :)
BalasHapusmana tulisanmu, mas?
BalasHapus