Langsung ke konten utama

Guntur nan Eksotis #1

Beberapa hari sebelum berangkat ke Gunung Guntur, kelompok kami sempat diributkan dengan kabar kurang baik. Bahwa Guntur ditutup sementara waktu untuk jalur pendakian dikarenakan kebakaran hutan. Beberapa  anggota kami mulai mencari informasi mengenai kebenaran berita tersebut. Sementara yang lainnya menyusun plan B dan C, persiapan seandainya jalur Guntur benar-benar tidak bisa dilalui oleh pendaki. Opsi lainnya adalah Gunung Papandayan dan Gunung Cikuray. Kedua gunung tersebut yang menjadi pilihan kedua dan ketiga karena letaknya sama-sama di Garut. Jadi tak akan banyak anggaran yang berubah dari rencana awal. Namun syukur Alhamdulillah, ternyata saya dan kelompok masih berjodoh untuk mendaki Gunung Guntur, sebab jalur pendakian yang katanya kebakaran tersebut hanya ditutup selama tiga hari, yaitu dari tanggal 19-21 Juli karena api sudah berhasil dipadamkan.

Jum’at malam, tanggal 24 Juli saya dan keenam teman pendaki berkumpul di rest area km.57 Klari, Karawang. Kelompok kami seluruhnya berjumlah sebelas orang. Tujuh orang berangkat bersama-sama dari Karawang, sementara sisanya dari Jakarta dan Garut. Kami janjian bertemu di SPBU Tanjung, yang musholanya lebih cocok dikatakan sebagai bascamp bagi para pendaki. Karena di mushola ini para pendaki beristirahat sejenak untuk kemudian packing ulang barang bawaan, sekaligus carter mobil menuju bascamp utama pendakian. Perjalanan Karawang – Garut menghabiskan waktu selama  dua setengah jam, sekitar pukul dua belas tengah malam kami sampai di SPBU Tanjung. Sambil menunggu anggota kelompok dari Jakarta, akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat di mushala dan memulai pendakian esok paginya.

Pagi menyingsing, dan Gunung Guntur pelan-pelan menyeruak dari kejauhan. Tepat di samping SPBU Tanjung, dari balik kegelapan yang lambat laun berganti terang, memesona, gagah berdiri gunung yang hari ini akan kami daki. Hal unik yang baru saya sadari, dari kejauhan Guntur terlihat berwarna coklat kekuning-kuningan. Eksotis amatan nih gunung, pikir saya. Sambil membayangkan betapa gersang dan panasnya di sana. Guntur tidak seperti gunung lainnya yang dari kejauhan terlihat hijau atau bahkan biru (inget jaman SD selalu membubuhkan warna biru kalau gambar gunung :D).

Pukul 6:30 ketua kelompok kami mulai nego harga dengan supir truk pasir yang biasa beroperasi membawa pendaki sampai ke bascamp. Akhirnya angka 12 ribu per orang disepakati dan lima menit kemudian kami berangkat. Sepuluh menit berlalu, tepat pukul 6:45 kami tiba di bascamp untuk melakukan registrasi. Hanya beberapa orang saja yang turun dari truk untuk lapor dan menitipkan KTP, masing-masing dari kami dikenakan biaya masuk sebesar lima ribu sebagai syarat pendakian. Selesai registrasi, kami masih melanjutkan perjalanan menggunakan truk pasir. Di kiri jalan terlihat area penambangan pasir dengan alat beratnya. Mungkin karena hari masih terlalu pagi, jadi kami tak melihat satupun pekerja tambang pasir di sana.
Akhirnya kami sampai di batas maksimal mobil truk pasir bisa mengantarkan kami. Pukul setengah delapan, setelah bersiap-siap, kami pun breafing kemudian berdo’a untuk memulai pendakian.
Sebelum melewati pos 3, para pendaki jangan ketakutan kehabisan persediaan air minum. Karena di pos satu, dua dan tiga tersedia sumber air yang mengalir dari curug Citiis. Curug atau air terjunnya memang tidak terlalu besar, tapi cukup mengobati gersang dan lelahnya perjalanan menuju Gunung Guntur yang suhunya bisa dibilang cukup ekstream panasnya. Terlebih pada saat musim kemarau seperti saat ini. Menurut penuturan teman, suhu ekstream menyebabkan Guntur rutin kebakaran setiap tahunnya. Perjalanan dari awal pendakian sampai pos satu sekitar satu jam, disusul dengan pos dua dan pos tiga dengan jarak yang kurang lebih sama. Pukul sebelas kami baru sampai di pos tiga. Sambil menunggu teman yang tertinggal, kami melepas lelah sambil mengisi botol air, karena di pos tiga ini merupakan sumber air terakhir. Di sini, banyak pendaki yang mendirikan tenda atau sekedar membentang bivak untuk melindungi mereka dari sengatan matahari.

Di pos tiga juga para pendaki disarankan untuk melakukan registrasi ulang, tersedia petugas yang mencatat pendaki yang akan naik dengan memberikan jaminan berupa kartu tanda penduduk salah satu anggota team.
Tak di sangka sebelumnya, carrier salah satu anggota team kami ternyata talinya putus. Untunglah ada yang membawa jarum dan benang sol (Kang Rudi). Dengan sigap, beliau menjahit carrier yang putus tersebut.

Kami sempat melewati lahan yang terbakar. Beberapa hektar luasnya, sejauh mata memandang area itu nampak hitam legam. Hanya sisa-sisa savana yang menghitam menimbulkan kesan gersang yang teramat. Ditambah suhu udara yang semakin siang semakin meningkat. Membuat gerak tubuh saya semakin melambat.
Area lahan yang terbakar
 
Trek awal yang dilewati masih biasa-biasa saja, kemudian menyusul trek bebatuan yang cukup besar dan terjal. Tapi itu belum seberapa. Selepas pos tiga, trek kerikil dan pasir mendominasi dengan kemiringan sekitar 70 derajat, membuat saya tambah kepayahan dan berkali-kali bergumam, “Subhanallah, Guntur treknya tengteuingeun, euy”. Yang khas dengan pendakian kali ini yaitu sesekali teman mendaki di depan akan berteriak, “batu..batu..batu...” Batu kerikil menggelinding ke arah saya dan dengan sigap, saya yang di belakang akan menghindar dengan tetap memastikan posisi pijakan kaki aman, agar tak tergelincir (dalam trek ini berarti posisi saya di bawah). Kemudian saya akan melanjutkan pesan berantai tersebut untuk pendaki di bawah/di belakang saya, “batu...batu...batu...”.

Guntur, sebagai gunung api yang masih aktif memiliki ciri khas tersendiri. Tanahnya didominasi oleh batu-batu kerikil dan pasir, yang merupakaan sisa letusan gunung api dan posisinya labil ketika diinjak. Menuju puncak, sulit sekali dijumpai pohon besar. Hanya ada pohon pinus dengan jarak dari satu pohon ke pohon selanjutnya hampir belasan atau bahkan puluhan meter. Ketika menemukan pohon, otomatis para pendaki bak semut yang menemukan gula, pohon tersebut langsung laris manis digerumutin untuk berteduh. Hehe..

Semakin mendekati puncak, padang savana kini didominasi oleh pohon semak yang tumbuh berkolaborasi dengan tanaman khas ketinggian, yaitu si cantik Edelweis. Saya sempet spechless ketika melihat bunga ini dan teriak, “Huaaa...edelweisnya kurus-kurus banget,”. Yup, mungkin karena cuacanya ekstream, jadi edelweisnya bersusah payah bertahan hidup di tanah Guntur yang gersang dan panas, mangkanya kurus-kurus. Beberapa pohon edelweis malah kering dan mati. Namun yang bikin salut itu, ketika melihat beberapa pohon edelweis yang mati tapi bunganya masih seger dan kece banget. Saya baru faham deh kenapa bunga itu disebut bunga abadi. Ih, subhanallah banget pokoknya.

Jam empat sore saya baru sampai di puncak satu. Lima orang teman sudah sampai terlebih dahulu. Kami rehat sejenak kemudian memutuskan untuk lanjut ke puncak dua dan mendirikan tenda di sana. Perjalanan menuju puncak dua, saya menikmati pemandagan edelweis yang tidak terlalu kurus jika dibanding dengan yang saya temui di perjalanan sebelum puncak satu tadi. Treknya lumayan landai meski kerikil kecil masih mendominasi. Sekitar empat puluh lima menit kami sampai di puncak dua yang merupakan pusat GPS. Kami mendirikan tenda, masak air untuk ngopi dan bikin mie instan untuk mengganjal perut yang sudah nagih jatah. Awalnya mau langsung masak, tapi sayangnya teman yang membawa logistik masih tertinggal di bawah dan baru sampai ba’da maghrib menjelang isya. Setelah itu kami bergantian shalat dzuhur sekaligus menggabungnya dengan ashar. Ah, rasanya saya menikmati setiap gerakan shalatnya. Seolah-olah menjadi terapi bagi tulang dan otot saya yang kelelahan.

*bersambung

Komentar

  1. Aih... keren pisan pasti'y Mt.Guntur ni....
    Tapi saya cemburu yang merbabu belum ada kelanjutannya :-P

    BalasHapus
  2. yang Merbabu part#1 kehapus dan gak ada filenya teh.. jadi males lanjutinnya.. udah lupa. hehe :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berburu Oleh-Oleh di Singapura, Ini yang Bisa Kamu Bawa Pulang ke Indonesia

Salah satu hal yang identik dengan liburan adalah oleh-oleh. Meski bukan hal yang wajib, tapi kalau kata orang sunda mah oleh-oleh  sokan jadi arep-arepeun   nu di imah (jadi hal yang ditunggu-tunggu orang rumah)   dan   rasanya sayang kalau tidak membawa oleh-oleh khas dari suatu negara seperti Singapura. T-shirt I Love Singapure Sumber gambar: bacaterus.com Bingung mau bawa apa dari Singapura? Gantungan kunci atau t-shirt rasanya sudah biasa! Beberapa pilihan berikut ini mungkin bisa jadi ide berburu oleh-oleh nanti. Sumber: singaporetales.co.uk Keramik Yang satu ini oleh-oleh untuk diri sendiri, bisa dipajang di rumah sebagai tanda sudah pernah pergi ke Singapura . Keramik di Singapura sudah lama terkenal dengan kualitasnya yang bagus, dengan motif yang paling banyak dicari adalah gambar Merlion yang menjadi simbol Singapura. Bak Kwa (sumber: detik.com) Bak Kwa Makanan ini sejenis dendeng daging, dengan rasa yang unik dan pastinya lezat. Da...

Yang Tersayang Memang Gak Boleh Sakit

Beberapa hari ini hujan terus, sampai-sampai cucian tiga hari gak kering-kering. Bukannya gak bersyukur. Hujan kan rahmat ya. Tapi kalau curah hujannya tinggi dan turun dalam waktu yang lama jadi khawatir juga kan. Sebetulnya ada hal yang lebih saya khawatirkan dibanding cucian, perubahan cuaca kadang bikin orang-orang gampang sakit. Apalagi kalau sistem imunnya gak bagus ditambah gaya hidup yang gak teratur. Ngomongin gaya hidup yang gak teratur, yang saya inget pertama kali adalah suami. Soalnya kan suami biasa ‘ngalong’ alias kerja malam, sering begadang, dan makannya juga suka gak teratur. Terlebih saya dan suami hubungan jarak jauh, beliau pulang ke rumah setiap akhir pekan. Jadi kesempatan saya buat ngerawat dan ngingetin ini-itu ke suami juga terbatas, paling cuman lewat whatsapp dan telpon. Saya selalu ngerasa kalau orang-orang terdekat sakit itu enggak enak, bukan semata-mata kita jadi repot ngurusin. Tapi rasa khawatirnya itu lho. Gak tega kan lihatnya. Bener ba...

Monolog Tentang Hujan

Sebuah Catatan KM.2* Pagi masih teramat buta dan aku gegas dalam jagaku sesubuh ini. Merasakan irama tetesan yang mampir keroyokan di ladang hidupku. Aku menengadahkan dagu, menatap rintik lewat lubang rengkawat yang orang bilang sebagai jendela sederhana milik keluarga kami. Kupandangi gelap subuh yang bercahaya, tetesan hujan yang tersorot lampu rumah seberang. Aku bertanya, kapan hujan usai? Kubuka handphone, seseorang bertanya tentang kotaku yang semalaman diguyur hujan. Pertanyaan dari pesan masuk yang aku tanggapi hanya dengan diam. Termenung.  Sambil terus menatapi tetes demi tetes cinta-Nya yang tak kunjung reda. Barangkali menggambarkan suasana hati. Hati siapa entah. Sejenak teringat agenda hari ini, Taman Baca Keliling (TBM) di KP. Tentunya buku-buku itu tak akan pernah mampu berdamai dengan basah, bukan? Aku tak cukup waktu untuk mengambil keputusan membatalkannya, kegiatan yang betapa lampau kami impi dan cita-citakan. Bukan sekedar itu malahan, kami memban...