Langsung ke konten utama

Tarian Pohon Bambu

Belakangan ini saya suka sekali memerhatikan derai tari serimbunan pohon bambu yang tumbuh banyak di halaman sekolah. Jenis tumbuhan yang memiliki bentuk tulang daun memanjang itu kian lihai melambai dari kejauhan, tertepa angin kemudian meniupkan sepoi. Saya akan betah lama-lama duduk di depan kelas atau di pojokan kantor demi memandangi mereka, sesekali mengabadikannya lewat tangkapan kamera handphone milik saya.


Memang, di sekolah kami, pohon bambu mendominasi tumbuh dengan subur. Di samping masjid, di belakang kamar akhwat, di samping kelas 5, dan ah tentu yang paling rimbun adalah di 'hutan' belakang sekolah, hutan larangan bagi anak-anak bermain.

"Jangan main di hutan! Nanti badannya gatal-gatal kayak Ghani." Teriakan itu mengudara. Padahal kita orang dewasa tahu, ada tempat-tempat istimewa untuk bermain, tak peduli seberapa bahayanya itu.
"Jangan main ke hutan belakang sekolah! kalau ada orang gila di sana terus kamu di seret lebih dalam ke hutan, gimana?" Seperti tak mau kehabisan ide untuk melarang mereka bermain di sana. Padahal jikalau kita orang dewasa tahu betapa istimewanya tempat 'rahasia' mereka di sana, barangkali akan membuat rencana lain, misalnya menggelar tikar dan duduk santai di bawah pohon bambu sambil menikmati jamuan makan siang, aduhai!

Memandangi pohon bambu melambai tertepa angin kadang membuat saya berfikir banyak hal. Tentang hidup yang damai, juah dari peradaban. Meski di sisi lain saya juga penikmat bingar kota besar dengan segala kesibukannya.

Namun menikmati sepoi pohon bambu adalah keasikan tersendiri. Dihiasi derai tawa anak-anak sekolah alam yang tengah bermain, tak jarang juga mereka rela menemani saya duduk berlama-lama memandangi tumbuhan dari kerajaan Plantae tersebut. Sambil berbagi sekeping biskuit atau sepotong roti yang mereka bawa dari rumah.

Kamu tak akan menyangka, betapa damainya hidup. Dan sungguh, bahagia itu sederhana sekali!




Pakopen, dini hari
17022015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berburu Oleh-Oleh di Singapura, Ini yang Bisa Kamu Bawa Pulang ke Indonesia

Salah satu hal yang identik dengan liburan adalah oleh-oleh. Meski bukan hal yang wajib, tapi kalau kata orang sunda mah oleh-oleh  sokan jadi arep-arepeun   nu di imah (jadi hal yang ditunggu-tunggu orang rumah)   dan   rasanya sayang kalau tidak membawa oleh-oleh khas dari suatu negara seperti Singapura. T-shirt I Love Singapure Sumber gambar: bacaterus.com Bingung mau bawa apa dari Singapura? Gantungan kunci atau t-shirt rasanya sudah biasa! Beberapa pilihan berikut ini mungkin bisa jadi ide berburu oleh-oleh nanti. Sumber: singaporetales.co.uk Keramik Yang satu ini oleh-oleh untuk diri sendiri, bisa dipajang di rumah sebagai tanda sudah pernah pergi ke Singapura . Keramik di Singapura sudah lama terkenal dengan kualitasnya yang bagus, dengan motif yang paling banyak dicari adalah gambar Merlion yang menjadi simbol Singapura. Bak Kwa (sumber: detik.com) Bak Kwa Makanan ini sejenis dendeng daging, dengan rasa yang unik dan pastinya lezat. Da...

Yang Tersayang Memang Gak Boleh Sakit

Beberapa hari ini hujan terus, sampai-sampai cucian tiga hari gak kering-kering. Bukannya gak bersyukur. Hujan kan rahmat ya. Tapi kalau curah hujannya tinggi dan turun dalam waktu yang lama jadi khawatir juga kan. Sebetulnya ada hal yang lebih saya khawatirkan dibanding cucian, perubahan cuaca kadang bikin orang-orang gampang sakit. Apalagi kalau sistem imunnya gak bagus ditambah gaya hidup yang gak teratur. Ngomongin gaya hidup yang gak teratur, yang saya inget pertama kali adalah suami. Soalnya kan suami biasa ‘ngalong’ alias kerja malam, sering begadang, dan makannya juga suka gak teratur. Terlebih saya dan suami hubungan jarak jauh, beliau pulang ke rumah setiap akhir pekan. Jadi kesempatan saya buat ngerawat dan ngingetin ini-itu ke suami juga terbatas, paling cuman lewat whatsapp dan telpon. Saya selalu ngerasa kalau orang-orang terdekat sakit itu enggak enak, bukan semata-mata kita jadi repot ngurusin. Tapi rasa khawatirnya itu lho. Gak tega kan lihatnya. Bener ba...

Monolog Tentang Hujan

Sebuah Catatan KM.2* Pagi masih teramat buta dan aku gegas dalam jagaku sesubuh ini. Merasakan irama tetesan yang mampir keroyokan di ladang hidupku. Aku menengadahkan dagu, menatap rintik lewat lubang rengkawat yang orang bilang sebagai jendela sederhana milik keluarga kami. Kupandangi gelap subuh yang bercahaya, tetesan hujan yang tersorot lampu rumah seberang. Aku bertanya, kapan hujan usai? Kubuka handphone, seseorang bertanya tentang kotaku yang semalaman diguyur hujan. Pertanyaan dari pesan masuk yang aku tanggapi hanya dengan diam. Termenung.  Sambil terus menatapi tetes demi tetes cinta-Nya yang tak kunjung reda. Barangkali menggambarkan suasana hati. Hati siapa entah. Sejenak teringat agenda hari ini, Taman Baca Keliling (TBM) di KP. Tentunya buku-buku itu tak akan pernah mampu berdamai dengan basah, bukan? Aku tak cukup waktu untuk mengambil keputusan membatalkannya, kegiatan yang betapa lampau kami impi dan cita-citakan. Bukan sekedar itu malahan, kami memban...