Langsung ke konten utama

Kebaya Mama


Tak ada yang berbeda dari mama sepulangnya beliau dari pengajian ibu-ibu di makjlis taklim dekat rumah kemarin sore. Hanya saja sebuah kantong kresek hitam ukuran sedang yang dihapitnya di ketiak, kini menghadirkan antusias pada sorot matanya. Kantong kresek hitam itu berisi satu stel kebaya putih lengan panjang dengan bawahan rok panjang motif batik berwarna abu kombinasi hitam. Mirip kebaya betawi saya pikir.

Di kamar, mama menjembreng satu stel baju yang terlihat resmi itu dan tanpa rasa segan beliau langsung menjajalnya di depan saya. “Gimana, Nut? Bagus enggak?” Awalnya saya hanya memicingkan mata. Sejurus kemudin mengacungkan jempol pada beliau. Ukurannya dan potongannya pas dengan postur tubuh mama yang tidak terlalu pendek dan tidak pula kurus.


Baru hari itu mama bisa menebus jahitannya di bu Marni, penjahit yang  juga tetangga kami, setelah kurang lebih enam bulan lamanya kain yang didapat mama dari teteh saya itu tak kujung dibawa pulang oleh pemiliknya. Bukan kebetulan, mama baru dapat uang bulanan lebih dari adek saya yang laki-laki, dia yang bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan Jepang itu tengah mendapatkan bonus tahunan. Bonus tahunan yang sayapun pernah merasakannya dulu, sewaktu masih bekerja di pabrik. Kalau sekarang? Jangan tanya. Mengajar adalah panggilan jiwa, barangkali banyak pendidik yang berujar seperti itu, saya pun. Materi hanyalah sebagai reword, senyuman anak-anak dan mendapati mereka tumbuh serta berkembang sesuai dengan umur dan kemampuannya, ialah upah yang sungguh tak ternilai jumlahnya.

“Baju ini dipakenya nanti kalau kamu nikah,” kata mama mantap. Aku hanya diam dan sedikit menyunggingkan senyum. Senyum yang terlalu dipaksakan.
“Karena baju ini sudah ada, jadi bisa diperkirakan kalau kamu bentar lagi bakal nikah.” Kata mama lagi dengan nada tegas. Sok tahu.
Loh? loh? aku membesarkan bulatan mataku. “Jangan mendahului ketentuan Allah. Insya Allah.” Jawabku lirih.

Mama mengaminkan penuh dengan takzim. Setelah itu kami saling diam. Sibuk dengan fikiran kami masing-masing. Menikah? Tentu saja, Mama. Walaupun bagiku ini masih teramat buram. Entah siapa dia, hanya bisa menyerahkan seluruhnya pada Allah. Dan aku percaya, hidup selalu tepat waktu.
Bukti Kasih Seorang Ibu

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berburu Oleh-Oleh di Singapura, Ini yang Bisa Kamu Bawa Pulang ke Indonesia

Salah satu hal yang identik dengan liburan adalah oleh-oleh. Meski bukan hal yang wajib, tapi kalau kata orang sunda mah oleh-oleh  sokan jadi arep-arepeun   nu di imah (jadi hal yang ditunggu-tunggu orang rumah)   dan   rasanya sayang kalau tidak membawa oleh-oleh khas dari suatu negara seperti Singapura. T-shirt I Love Singapure Sumber gambar: bacaterus.com Bingung mau bawa apa dari Singapura? Gantungan kunci atau t-shirt rasanya sudah biasa! Beberapa pilihan berikut ini mungkin bisa jadi ide berburu oleh-oleh nanti. Sumber: singaporetales.co.uk Keramik Yang satu ini oleh-oleh untuk diri sendiri, bisa dipajang di rumah sebagai tanda sudah pernah pergi ke Singapura . Keramik di Singapura sudah lama terkenal dengan kualitasnya yang bagus, dengan motif yang paling banyak dicari adalah gambar Merlion yang menjadi simbol Singapura. Bak Kwa (sumber: detik.com) Bak Kwa Makanan ini sejenis dendeng daging, dengan rasa yang unik dan pastinya lezat. Da...

Yang Tersayang Memang Gak Boleh Sakit

Beberapa hari ini hujan terus, sampai-sampai cucian tiga hari gak kering-kering. Bukannya gak bersyukur. Hujan kan rahmat ya. Tapi kalau curah hujannya tinggi dan turun dalam waktu yang lama jadi khawatir juga kan. Sebetulnya ada hal yang lebih saya khawatirkan dibanding cucian, perubahan cuaca kadang bikin orang-orang gampang sakit. Apalagi kalau sistem imunnya gak bagus ditambah gaya hidup yang gak teratur. Ngomongin gaya hidup yang gak teratur, yang saya inget pertama kali adalah suami. Soalnya kan suami biasa ‘ngalong’ alias kerja malam, sering begadang, dan makannya juga suka gak teratur. Terlebih saya dan suami hubungan jarak jauh, beliau pulang ke rumah setiap akhir pekan. Jadi kesempatan saya buat ngerawat dan ngingetin ini-itu ke suami juga terbatas, paling cuman lewat whatsapp dan telpon. Saya selalu ngerasa kalau orang-orang terdekat sakit itu enggak enak, bukan semata-mata kita jadi repot ngurusin. Tapi rasa khawatirnya itu lho. Gak tega kan lihatnya. Bener ba...

Monolog Tentang Hujan

Sebuah Catatan KM.2* Pagi masih teramat buta dan aku gegas dalam jagaku sesubuh ini. Merasakan irama tetesan yang mampir keroyokan di ladang hidupku. Aku menengadahkan dagu, menatap rintik lewat lubang rengkawat yang orang bilang sebagai jendela sederhana milik keluarga kami. Kupandangi gelap subuh yang bercahaya, tetesan hujan yang tersorot lampu rumah seberang. Aku bertanya, kapan hujan usai? Kubuka handphone, seseorang bertanya tentang kotaku yang semalaman diguyur hujan. Pertanyaan dari pesan masuk yang aku tanggapi hanya dengan diam. Termenung.  Sambil terus menatapi tetes demi tetes cinta-Nya yang tak kunjung reda. Barangkali menggambarkan suasana hati. Hati siapa entah. Sejenak teringat agenda hari ini, Taman Baca Keliling (TBM) di KP. Tentunya buku-buku itu tak akan pernah mampu berdamai dengan basah, bukan? Aku tak cukup waktu untuk mengambil keputusan membatalkannya, kegiatan yang betapa lampau kami impi dan cita-citakan. Bukan sekedar itu malahan, kami memban...