Biasanya, hampir setiap pagi -- sebelum subuh tepatnya, engkau terjaga lebih dulu dan membangunkanku untuk bersiap shalat subuh di masjid. Bagi laki-laki, shalat berjama’ah di masjid itu wajib hukumnya, ujarmu padaku. Aku berdecak kagum, seraya mengucapkan hamdallah karena Allah mengirimkanku sahabat yang shaleh sepertimu untuk menjadi teman kost-ku selama kuliah.
Namun belakangan ini berbeda. Sudah beberapa hari aku ketinggalan rakaat pertama karena bangun kesiangan. Aku kehilangan tepukan lembut di kakiku, caramu membangunkanku setiap pagi. Kulihat engkau masih terlelap di ruang depan. Mungkin engkau kecapekan setelah semalaman begadang mengerjakan tugas kuliah, pikirku.
*
Pagi ini aku melihat mendung di wajahmu, tak seperti hari-hari biasanya. Sebelumnya aku selalu melihat halilintar semangat di matamu.
“Ada apa?” tanyaku hati-hati. Engkau menggeleng sambil tersenyum, mencoba meyakinkanku bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi aku sahabatmu, aku tahu kalau sesuatu telah terjadi padamu, sesuatu yang merenggut ceria dan semangatmu, kawan.
Malam ini aku tidur lebih awal dari biasanya, berniat bangun di sepertiga malam untuk qiyamulail. Kubiarkan engkau yang masih berjibaku dengan buku-buku di ruang depan. Sudah lama engkau tak menghabiskan malammu di kamar, kasur lipat di samping tempat tidurku dibiarkan kosong begitu saja.
Saat terjaga, aku disuguhi barisan tanda tanya. Sedini ini engkau asik menelpon atau ditelpon seseorang. Siapa gerangan yang dihubungi atau menghubungimu selarut ini?
Aku tak hendak bertanya langsung padamu, siapa orangnya dan untuk apa. Ketika malam-malam berikutnya tanpa sepengetahuanmu aku melihat engkau melakukan hal yang sama, berjam-jam lamanya.
Seperti disengat listrik, hari ini bibirku kelu tak mampu mengeluarkan satu katapun. Engkau tertunduk di hadapanku. Semburat kesedihan begitu pekat, hatimu jatuh berserakan. Patah hati?
Haruskah aku bertanya, sejauh mana engkau melakukannya dan sedalam apa rasa itu sehingga perasaanmu sehancur ini saat mendengar dia telah dikhitbah oleh ikhwan lain?
Engkau telah kehilangan iffahmu, ikhtilat membuat rasa cinta itu seakan-akan menjadi borok yang menggerogoti hatimu.
Sejenak aku teringat hari-hari yang kita lewati bersama. Percikan semangat yang membara saat kita terjun di dakwah sekolah, menjadi mentor bagi anak-anak SMA yang sehari-harinya penuh dengan letupan warna-warni hidup.
Ingatkah kau dengan perjuangan itu? Saat kita merencanakan metode dakwah yang bisa diterima di kalangan siswa? Ketika mengkampanyekan untuk tidak pacaran dengan cara yang tidak ekstrim di kalangan mereka.
Tundukmu semakin dalam. Aku tahu, engkau bukanlah Yusuf yang dengan keimanannya tak tergoda oleh pesona Dzulaikha. Engkau, akupun dan akhwat yang diam-diam menjalin hubungan tanpa status denganmu itu hanya manusia biasa yang bisa saja salah dan khilaf.
Aku berkaca pada kisahmu, berkaca pada diri, berkaca pada dakwahku, dakwah kita. Sejauh mana ia berjalan seiring sekata sejalan sehati, apa yang kita ucapkan, itulah yang harus kita lakukan, selaras.
Aku harap engkau bangit, kepakkan lagi sayap elangmu, kawan! Maukah kau berjanji pada hatimu untuk tidak patah hati karena cinta? Katakan engkau tak akan jatuh cinta, tapi membangun cinta, berjanjilah! Bukan padaku, bukan padanya, atau pada dakwahmu, bukan berjanji pada sesiapapun. Tapi berjanji pada-Nya. Hanya untuk-Nya!
Ckp, 111211
(saya hampir bosan dengan tema cerita ini)
Namun belakangan ini berbeda. Sudah beberapa hari aku ketinggalan rakaat pertama karena bangun kesiangan. Aku kehilangan tepukan lembut di kakiku, caramu membangunkanku setiap pagi. Kulihat engkau masih terlelap di ruang depan. Mungkin engkau kecapekan setelah semalaman begadang mengerjakan tugas kuliah, pikirku.
*
Pagi ini aku melihat mendung di wajahmu, tak seperti hari-hari biasanya. Sebelumnya aku selalu melihat halilintar semangat di matamu.
“Ada apa?” tanyaku hati-hati. Engkau menggeleng sambil tersenyum, mencoba meyakinkanku bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi aku sahabatmu, aku tahu kalau sesuatu telah terjadi padamu, sesuatu yang merenggut ceria dan semangatmu, kawan.
Malam ini aku tidur lebih awal dari biasanya, berniat bangun di sepertiga malam untuk qiyamulail. Kubiarkan engkau yang masih berjibaku dengan buku-buku di ruang depan. Sudah lama engkau tak menghabiskan malammu di kamar, kasur lipat di samping tempat tidurku dibiarkan kosong begitu saja.
Saat terjaga, aku disuguhi barisan tanda tanya. Sedini ini engkau asik menelpon atau ditelpon seseorang. Siapa gerangan yang dihubungi atau menghubungimu selarut ini?
Aku tak hendak bertanya langsung padamu, siapa orangnya dan untuk apa. Ketika malam-malam berikutnya tanpa sepengetahuanmu aku melihat engkau melakukan hal yang sama, berjam-jam lamanya.
Seperti disengat listrik, hari ini bibirku kelu tak mampu mengeluarkan satu katapun. Engkau tertunduk di hadapanku. Semburat kesedihan begitu pekat, hatimu jatuh berserakan. Patah hati?
Haruskah aku bertanya, sejauh mana engkau melakukannya dan sedalam apa rasa itu sehingga perasaanmu sehancur ini saat mendengar dia telah dikhitbah oleh ikhwan lain?
Engkau telah kehilangan iffahmu, ikhtilat membuat rasa cinta itu seakan-akan menjadi borok yang menggerogoti hatimu.
Sejenak aku teringat hari-hari yang kita lewati bersama. Percikan semangat yang membara saat kita terjun di dakwah sekolah, menjadi mentor bagi anak-anak SMA yang sehari-harinya penuh dengan letupan warna-warni hidup.
Ingatkah kau dengan perjuangan itu? Saat kita merencanakan metode dakwah yang bisa diterima di kalangan siswa? Ketika mengkampanyekan untuk tidak pacaran dengan cara yang tidak ekstrim di kalangan mereka.
Tundukmu semakin dalam. Aku tahu, engkau bukanlah Yusuf yang dengan keimanannya tak tergoda oleh pesona Dzulaikha. Engkau, akupun dan akhwat yang diam-diam menjalin hubungan tanpa status denganmu itu hanya manusia biasa yang bisa saja salah dan khilaf.
Aku berkaca pada kisahmu, berkaca pada diri, berkaca pada dakwahku, dakwah kita. Sejauh mana ia berjalan seiring sekata sejalan sehati, apa yang kita ucapkan, itulah yang harus kita lakukan, selaras.
Aku harap engkau bangit, kepakkan lagi sayap elangmu, kawan! Maukah kau berjanji pada hatimu untuk tidak patah hati karena cinta? Katakan engkau tak akan jatuh cinta, tapi membangun cinta, berjanjilah! Bukan padaku, bukan padanya, atau pada dakwahmu, bukan berjanji pada sesiapapun. Tapi berjanji pada-Nya. Hanya untuk-Nya!
Ckp, 111211
(saya hampir bosan dengan tema cerita ini)
Komentar
Posting Komentar