Minggu pagi pertama di bulan Agustus saya menghadiri acara
bincang buku “Habibie the Serries” di Aula Museum Bank Mandiri, Kota Tua,
Jakarta (7/8/2016). Bincang buku ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan
memperingati hari ulang tahun Baharudin Jusup Habibie (BJ Habibie) yang ke-80.
Seperti yang kita tahu, BJ Habibie yang terkenal sebagai
pencipta pesawat terbang ini merupakan Presiden Indonesia ke-3. Kiprahnya
sebagai orang nomor satu di Indonesia memang terbilang singkat, hanya 512 hari,
namun hal tersebut tak menepis anggapan bahwa BJ Habibie merupakan salah satu
orang yang berjasa besar pada negeri ini.
Acara yang digagas oleh Forum Lingkar Pena (FLP) yang
tergabung dalam Friends of Mandiri Museum ini bekerja sama dengan The Habibie
Center, Penerbit Tiga Serangkai, Museum Bank Mandiri, Bank Mandiri, dan Lembaga
Kursus Bahasa Asing Euro Management.
Kegiatan ini terbagi menjadi dua sesi. Pada kesempatan kali
itu saya mengahadiri sesi pertama dengan tema diskusi Kunci Sukses Eyang Bangsa “Mengulik Kepribadian Eyang Habibie Dalam
Meraih Sukses”.
Saya tiba di Stasiun Kota sekitar pukul 8.30 WIB. Sempat
mampir ke mini market di dalam stasiun untuk membeli sarapan kemudian langsung
menemui tiga kawan, yakni Riana, Ari, dan Muhzen. Sejenak kami duduk-duduk di
kawasan Kota Tua sambil melahap roti guling sebagai menu sarapan.
Saat saya dan ketiga kawan menginjakkan kaki di depan museum,
jam menunjukkan pukul 9.30 WIB. Itu artinya kami masih memiliki waktu untuk
melihat-lihat. Kebetulan tak jauh dari pintu masuk museum sedang digelar
pameran photo yang berlangsung dari tanggal 24 Juli hingga 20 Agustus 2016,
masih dalam rangka ulang tahun Habibie. Kami tak mau melewatkan kesempatan
untuk melihat koleksi photo yang berisi perjalanan hidup mulai dari Habibie
kecil hingga usianya sekarang.
Sekitar pukul 10.00 WIB acara dimulai. Dua orang pembawa
acara menyapa peserta yang kurang lebih berjumlah 60 orang dengan ramah.
Setelah itu acara diserahkan kepada moderator yang merupakan salah satu penulis
serial kesukaan saya, Lupus, yaitu Mas Boim Lebon.
Selanjutya moderator mengundang dua pembicara, Andi M. Makka,
perwakilan dari Tim Habibie Center dan Sutanto Sastrareja yang merupakan Tim
Penulis buku The Habibie Serries.
“The Habibie Serries terdiri dari delapan jilid, hal
tersebut mewakili usia Pak Habibie saat ini, yaitu 80 tahun. Kurang lebih kami
garap selama dua bulan” Jelas Pak Andi.
Pak Andi juga menjelaskan bahwa setiap dekadenya, mulai dari
tahun 1986, ia menulis buku untuk Pak Habibie. Buku pertama berjudul “Setengah
Abad Profesor BJ Habibie” diterbitkan tahun 1986. Selang satu dekade Pak Andi
kembali menerbitkan buku yang berjudul “60 Tahun Habibie”. Kemudian pada
usianya yang ke-70, Pak Habibie menulis buku sendiri dengan judul “Detik-detik
yang menentukan”.
Selanjutnya, Pak Andi menyebutkan satu-persatu kedelapan judul
buku tersebut. Jilid pertama berjudul Jangan Pernah Berhenti (Jadi) Habibie,
jilid kedua Habibie Jejak Sang Penanda Kebangkitan, jilid ketiga Habibie Karya
Nyata Untuk Indonesia, jilid keempat Habibie Totalitas Sang Teknosof, jilid
kelima Habibie Musik, Film, dan Kegemaran, jilid keenam Habibie Makna di Balik
Lensa, jilid ketujuh Ainun Mata Cinta Habibie, dan yang terakhir Habibie Dalam
komik, Puisi, dan Surat.
Menurut Pak Sutanto, kedelapan buku tersebut merupakan
perwakilan 4 otak kiri dan 4 otak kanan seorang BJ Habibie. Jarang sekali sosok
ilmuwan sekaligus negarawan yang mempunyai kecerdasan seperti Pak Habibie.
Maka, masih menurut Pak Sutanto, bangsa Indonesia seharusnya bangga dan sangat
beruntung memiliki figur pemimpin seperti beliau dan patut dicontoh oleh
generasi muda sebagai masa depan bangsa Indonesia.
Melihat dari kacamata saya sebagai peserta diskusi, dua
sosok pembicara memiliki gaya khas yang berbeda dalam menuturkan sosok Pak
Habibie. Pak Andi dengan gayanya yang klasik sedangkan Pak Sutanto dengan gaya
kontemporer dan bersemangat. Keduanya saling melengkapi.
Pada sesi tanya jawab sempat disinggung kasus Pak Habibie
yang melepaskan Timor-Timor dari NKRI. Salah satu penanya beranggapan kalau
kasus tersebut memberikaan kesan negatif terhadap Pak Habibie. Sebagai presiden
pada waktu itu, ia dianggap tidak mampu memertahankan kesatuan bangsanya
sendiri.
Pak Andi dengan tenang menjawab jika perbedaan pandangan
adalah hal yang biasa, pun ketika seorang BJ Habibie mencoba menjalankan
konstitusi yang berlaku terhadap Timor Timor. Selanjutnya warga Timor-Timor
sendiri yang menentukan nasibnya (dengan melakukan jejak pendapat) dan lebih
dari 70% memilih berpisah dengan NKRI.
“Habibie adalah fungsi yang gagal dipahami saat ini, tapi
tidak nanti.” Begitu ujar pak Sutanto. “Habibie bukanlah satu kata yang dibaca
selesai. Habibie juga bukan kalimat yang disusun berdasarkan SPOK kemudian
selesai. Tapi, Habibie adalah serangkaian kalimat yang harus dibaca hingga
usai.” Katanya lagi.
Tak terasa jam menunjukan pukul 12.00 WIB, diskusi hampir
selesai. Namun perbincagan tentang Pak Habibie belum selesai. Panitia masih
menyiapkan sesi dua usai shalat dzuhur. Namun sayangnya, saya dan ketiga kawan
harus melewatkan kesempatan tersebut. Kami pulang ke rumah masing-masing usai
makan siang di area Kota Tua.
Usai diskusi buku “The Habibies Series” saya pulang ke rumah
membawa banyak ‘oleh-oleh. Kisah tentang ‘Eyang Bangsa’ berupa bakti dan karyanya
bagi Bangsa yang begitu menginspirasi. Pula tentang satu pandangan, bahwa
sejarah adalah perihal sudut pandang. Semakin banyak sumber sejarah yang kamu
‘baca’, maka semakin berkembang pula sudut pandang yang kita miliki terhadap
suatu sejarah tersebut. Begitu pula pandangan terhadap Baharudin Jusup Habibie.
Komentar
Posting Komentar