Langsung ke konten utama

Di Mana Sungai ini Bermuara? (Catatan #3 #SejutaPensilWarna)


“Hm...sungai ini bermuara di mana ya?” tanyaku padamu ketika menyusuri sungai di daerah Ciampel pada perjalanan pulang, perjalanan yang seakan tak ada ujungnya. Pertanyaan filosofis sebenarnya.
“Ya di laut lah.” Jawabmu satai.
***

Siang itu matahari naik lamat-lamat menghadiahi terik, menemani perjalanan aku dan dua orang kawan  keluar dari kawasan industri PT.Pupuk Kujang kemudian  menyusuri  jalan utama Cikampek-Karawang. Kami berbelok di pertigaan pasar kosambi ke arah bendungan Walahar. Aku dibonceng kawanku dengan motor supra x berplat nomor AE, sedangkan kawanku yang satunya sebagai navigator jalan menggunakan motor besar berplat B.
Sebuah SD marginal di kecamatan Ciampel adalah tujuan kami menyusuri pelosok Karawang siang itu, masing-masing dari kami rela mengambil cuti kerja untuk sebuah pencarian ini. Pencarian yang menggantung, menyisakan penasaran besar akan sekolah dasar di dalam hutan.

Mulya Sejati I, SD tujuan utama kami ternyata jauh dari bayangan awal. Sekolah dasar negeri tersebut mempunyai belasan ruang kelas yang cukup layak bangunannya, tentu jauh dari kesan SD tertinggal.

Seakan tak mau menyerah, aku dan kedua kawanku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju SD yang lainnya, barangkali SD Mulya Sejati II, III, atau IV lebih ‘layak’ untuk kita kunjungi, ujar salah satu dari kami, masih mempunyai harapan.
“Leweung” berkali-kali kata itu keluar dari mulut kawan yang motornya aku boncengi. Kata berbahasa sunda itu terdengar begitu aneh ketika diucapkan oleh lidah dengan logat Jawa Timuran-nya. Berhasil membuatku tertawa geli. Kemudian kata “leweung” menjadi kata kunci perjalanan kami hari itu.
“Kita ada di mana sih? Di ujung dunia ya?” tanya kawanku, berlebihan. Kalimat itu terucap ketika pemandangan kami saat itu hanya berupa semak belukar dan pohon-pohon yang tidak terlalu tinggi. Sesekali melewati sawah dan ladang milik warga. Hingga akhirnya kami meutuskan untuk memutar arah, karena dirasa medannya sudah terlalu sulit seandainya kita menemukan sekolah tujuan kami dan menjadikannya  untuk dieksekusi sebagai tempat kegiatan sosial kami nantinya. Aku yang penasaran kecewa.
Menjelang tengah hari, kami memutuskan untuk menepi di salah satu masjid. Beristirahat sejenak dan shalat dzuhur, kemudian temanku dengan motor  plat nomor B pamit pulang duluan karena ada urusan, medical check up katanya. Duh, dia baru pulih dari sakitnya tapi sudah mau diajak berpetualang ke dalam leweung bersama kami.
Perjalanan berlanjut, meski hanya menyisakan dua orang, kami tetap mendatangi dua SD berikutnya. 
Di SD pertama kami berhasil menemui seorang bapak yang kebetulan bekerja di sekolah itu. Dengan hanya menggunakan kaos dan sarung, beliau menyapa kami dengan ramah. Dari beliaulah kami mendengar cerita tentang SD di dalam hutan. “Bapak cuman kasih saran, lebih baik gak usah ke sana. Kasian, nanti gak bisa pulang.” Kata beliau meyakinkan. “Emangnya kenapa, Pak?” tanyaku penasaran. “Jalannya susah, Neng. Apalagi musim hujan gini, jalannya susah dilewatin, becek banget.” Harapanku semakin meguap.
Tiba di SD terakhir, sebuah pemandangan yang aduhai memanjakan mata saya. Sebuah padang rumput hijau membentang bak permadani alam di halaman sekolah, lengkap dengan seorang anak perempuan yang tengah menggembala kambing. “Sekolah di mana, Dek?” aku coba menyapanya. Dia hanya menoleh ke arahku tanpa ekspresi kemudian berlalu begitu saja. Aku biarkan dia. Barangkali tak biasa menghadapi orang baru sepertiku.
Aku dan temanku sempat duduk-duduk di teras sekolah itu sejenak, melongok kondisi kelas dari jendela, dan merekam kondisi sekolah dengan tangkapan kamera HP. Kami bertukar pandang, masih layak, itu isyarat yang kami sepakati.
Kami pulang dengan tangan hampa. Menyusuri sungai yang panjangnya terasa seakan tak berkesudah. “Kita keluarnya di kawasan Surya Cipta.” Kata temanku, meyakinkan.
Aku melontarkan pertanyaan padanya.
“Hm...sungai ini bermuara di mana ya?” tanyaku  ketika menyusuri sungai di daerah Ciampel pada perjalanan pulang, perjalanan yang seakan tak ada ujungnya. Pertanyaan filosofis sebenarnya.
“Ya di laut lah.” Jawabnya satai.
Bila diibaratkan, perjalanan panjang kami hari itu seperti aliran sungai yang panjang, penasaran di mana ujung perjalanan ini bermuara, dan terjawab delapan Maret kemudian, muaranya ada di SDN Makmur Jaya 3 – Jayakerta. Muara yang penuh dengan riak-riak kebahagiaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berburu Oleh-Oleh di Singapura, Ini yang Bisa Kamu Bawa Pulang ke Indonesia

Salah satu hal yang identik dengan liburan adalah oleh-oleh. Meski bukan hal yang wajib, tapi kalau kata orang sunda mah oleh-oleh  sokan jadi arep-arepeun   nu di imah (jadi hal yang ditunggu-tunggu orang rumah)   dan   rasanya sayang kalau tidak membawa oleh-oleh khas dari suatu negara seperti Singapura. T-shirt I Love Singapure Sumber gambar: bacaterus.com Bingung mau bawa apa dari Singapura? Gantungan kunci atau t-shirt rasanya sudah biasa! Beberapa pilihan berikut ini mungkin bisa jadi ide berburu oleh-oleh nanti. Sumber: singaporetales.co.uk Keramik Yang satu ini oleh-oleh untuk diri sendiri, bisa dipajang di rumah sebagai tanda sudah pernah pergi ke Singapura . Keramik di Singapura sudah lama terkenal dengan kualitasnya yang bagus, dengan motif yang paling banyak dicari adalah gambar Merlion yang menjadi simbol Singapura. Bak Kwa (sumber: detik.com) Bak Kwa Makanan ini sejenis dendeng daging, dengan rasa yang unik dan pastinya lezat. Da...

Yang Tersayang Memang Gak Boleh Sakit

Beberapa hari ini hujan terus, sampai-sampai cucian tiga hari gak kering-kering. Bukannya gak bersyukur. Hujan kan rahmat ya. Tapi kalau curah hujannya tinggi dan turun dalam waktu yang lama jadi khawatir juga kan. Sebetulnya ada hal yang lebih saya khawatirkan dibanding cucian, perubahan cuaca kadang bikin orang-orang gampang sakit. Apalagi kalau sistem imunnya gak bagus ditambah gaya hidup yang gak teratur. Ngomongin gaya hidup yang gak teratur, yang saya inget pertama kali adalah suami. Soalnya kan suami biasa ‘ngalong’ alias kerja malam, sering begadang, dan makannya juga suka gak teratur. Terlebih saya dan suami hubungan jarak jauh, beliau pulang ke rumah setiap akhir pekan. Jadi kesempatan saya buat ngerawat dan ngingetin ini-itu ke suami juga terbatas, paling cuman lewat whatsapp dan telpon. Saya selalu ngerasa kalau orang-orang terdekat sakit itu enggak enak, bukan semata-mata kita jadi repot ngurusin. Tapi rasa khawatirnya itu lho. Gak tega kan lihatnya. Bener ba...

Monolog Tentang Hujan

Sebuah Catatan KM.2* Pagi masih teramat buta dan aku gegas dalam jagaku sesubuh ini. Merasakan irama tetesan yang mampir keroyokan di ladang hidupku. Aku menengadahkan dagu, menatap rintik lewat lubang rengkawat yang orang bilang sebagai jendela sederhana milik keluarga kami. Kupandangi gelap subuh yang bercahaya, tetesan hujan yang tersorot lampu rumah seberang. Aku bertanya, kapan hujan usai? Kubuka handphone, seseorang bertanya tentang kotaku yang semalaman diguyur hujan. Pertanyaan dari pesan masuk yang aku tanggapi hanya dengan diam. Termenung.  Sambil terus menatapi tetes demi tetes cinta-Nya yang tak kunjung reda. Barangkali menggambarkan suasana hati. Hati siapa entah. Sejenak teringat agenda hari ini, Taman Baca Keliling (TBM) di KP. Tentunya buku-buku itu tak akan pernah mampu berdamai dengan basah, bukan? Aku tak cukup waktu untuk mengambil keputusan membatalkannya, kegiatan yang betapa lampau kami impi dan cita-citakan. Bukan sekedar itu malahan, kami memban...