Rengganis, Novel Tentang Pendakian
Judul Buku: Rengganis Altitude 3088
Penulis: Azzura Dayana
Penerbit: Indiva Media Kreasi
Tahun Terbit: Agustus 2014, Cetakan Pertama
Jumlah Halaman: 232 Hal
ISBN: 978-602-1614-26-6
Rengganis merupakan nama salah satu puncak di pegunungan Argopuro. Nama tersebut diambil dari nama Dewi Rengganis, yang merupakan salah satu selir dari raja Majapahit. Konon, Dewi Rengganis hilang beserta keenam dayangnya di danau Hidup. Sedangkan angka 3088 merupakan ketinggian gunung Argopuro, yang menjadi latar novel ini.
“Seolah-olah kita ini sedang berada di antara beberapa mangkuk hijau yang disusun terbalik dan saling didekatkan. Dan sekarang kita sedang berdiri di lereng yang tinggi di salah satu mangkuk, memandangi lereng-lereng tinggi mangkuk-mangkuk lain.” (Hal: 26)
Novel ini memiliki dua ketertarikan sekaligus, yang pertama adalah tentang pendakian dan yang kedua yaitu tentang sejarah. Seandainya penulis bisa lebih bersabar untuk mempertebal novel ini, terutama dalam konteks sejarah maupun mitos tentang Dewi Rengganis, maka bisa menarik dua minat golongan pembaca tersebut.
“Leave nothing but footprint, take nothing but picture, kill nothing but ego,” Fathur mengumandangkan slogan pendaki sambil mengacungkan sebelah tangannya dan bergegas melakukan operasi semut. Membersihkan semua sampah yang ada.
“Bukannya kill nothing but time?” Nisa mencoba meralat.
“Kuimprovisasi aja, Nis. Kayaknya lebih bagusan membunuh ego daripada membunuh waktu. Hehe..” (Hal: 208).
Pelajaran-pelajaran berharga tentang pendakian diselipkan dengan cantik di dalam novel ini. Bagaimana mereka melakukan survival, cara memperlakukan alam, kesetiakawanan, cara mengendalikan diri dan mengolah ego bagi. Poin-poin tersebut menjadikan novel ini layak dibaca bagi para pendaki atau calon pendaki.
Judul Buku: Rengganis Altitude 3088
Penulis: Azzura Dayana
Penerbit: Indiva Media Kreasi
Tahun Terbit: Agustus 2014, Cetakan Pertama
Jumlah Halaman: 232 Hal
ISBN: 978-602-1614-26-6
Cover Novel Rengganis |
Dia baru saja menyelinap keluar. Terbangun oleh gemerisik angin yang menabrak-nabrak tenda. Dua lapis jaket membungkus tubuhnya. Satu jaket polar dan satu jaket parka gunung. Tak ada seorang manusia lain pun yang terlihat. Seluruh penghuni kerajaan sang dewi telah tertidur. Pandangannya lurus ke depan. Kemudian, tiba-tiba saja tatapannya berubah menjadi tajam. Sangat tajam. Menatap lekat sesuatu. Atau lebih dari satu. Perlahan-lahan dia berjalan meninggalkan tenda. Meninggalkan teman-temannya yang tidur di dalam tenda. Menjejaki rerumputan basah dalam langkah-langkah pasti. Dermaga itu tujuannya. Mendekati tarikan magnet bercahaya. Memanggil-manggilnya dengan suara tak biasa.
Rengganis, pentas apa sebenarnya yang tengah dilangsungkan?
Hingga pagi datang, anak muda itu tak pernah kembali lagi ke tenda... (Hal: 6)
Paragraf di atas merupakan prolog sekaligus sinopsis yang disajikan dalam novel Rengganis Altitude 3088. Ditulis dan ditempatkan dengan apik sehingga berhasil membuat pembaca penasaran sekaligus ingin segera menuntaskan bacaannya untuk menjawab misteri di dalamnya.
Rengganis merupakan nama salah satu puncak di pegunungan Argopuro. Nama tersebut diambil dari nama Dewi Rengganis, yang merupakan salah satu selir dari raja Majapahit. Konon, Dewi Rengganis hilang beserta keenam dayangnya di danau Hidup. Sedangkan angka 3088 merupakan ketinggian gunung Argopuro, yang menjadi latar novel ini.
Novel yang ditulis oleh Azzura Dayana ini berisi tentang perjalanan delapan orang pendaki menyusuri pegunungan Argopuro yang terletak di Probolinggo, Jawa Timur, yang merupakan pegunungan dengan trek terpanjang di pulau Jawa. Uniknya, penulis mengangkat setting gunung yang tidak terlalu populer bila dibandingkan dengan dua gunung yang menghimpit Argopuro, yaitu Gunung Semeru dan Gunung Raung. Hal tersebut sekaligus menjadi upaya penulis untuk mengangkat nama Argopuro yang selama ini memang kurang terkenal, terlebih di kalangan masyarakat yang tidak mencintai kegiatan pendakian.
Ialah Dewo, Fathur, Rafli, Dimas, Acil, Ajeng, Nisa, dan Sonia, delapan orang pendaki yang menjadi tokoh dalam novel ini. Catatan penting dari novel Rengganis adalah tidak adanya tokoh utama yang lebih ditonjolkan oleh penulis. Dari kedelapan tokoh, semuanya memiliki porsi yang sama dalam kisah pendakian tersebut. Penulis memosisikan diri secara netral dalam mengelola tokoh-tokoh di dalam novel ini, namun di sisi lain menimbulkan kesan penokohannya kurang kuat.
Runtutan pendakian dituliskan secara jelas, nama tempat dan kondisi alam maupun treknya pun dideskripsikan dengan cukup baik, sehingga pembaca digiring untuk merasakan alur pendakian yang dialami oleh kedelapan tokoh-tokohnya. Sabana Cikasur, Rawa Embik, Sabana Lonceng, puncak Rengganis, sungai Cisentor, danau Hidup, dan puncak utama Argopuro merupakan tempat-tempat yang Dewo dan kawan-kawannya lalui. Bagi yang pernah mendaki Argopuro, novel ini bisa menjadi media nostalgia pendakian atau bisa sebagai gambaran bagi yang belum pernah ke sana.
“Seolah-olah kita ini sedang berada di antara beberapa mangkuk hijau yang disusun terbalik dan saling didekatkan. Dan sekarang kita sedang berdiri di lereng yang tinggi di salah satu mangkuk, memandangi lereng-lereng tinggi mangkuk-mangkuk lain.” (Hal: 26)
Novel ini memiliki dua ketertarikan sekaligus, yang pertama adalah tentang pendakian dan yang kedua yaitu tentang sejarah. Seandainya penulis bisa lebih bersabar untuk mempertebal novel ini, terutama dalam konteks sejarah maupun mitos tentang Dewi Rengganis, maka bisa menarik dua minat golongan pembaca tersebut.
Adapun konflik dalam novel ini adalah ketika Dewo terperosok ke dalam jurang namun Rafli menunjukkan sikap yang kurang baik. Hingga akhirnya Rafli dinyatakan hilang pagi-pagi saat mereka berkemah di dekat danau Hidup. Novel ini terasa menegangkan ketika mencapai halaman-halaman terakhirnya.
“Leave nothing but footprint, take nothing but picture, kill nothing but ego,” Fathur mengumandangkan slogan pendaki sambil mengacungkan sebelah tangannya dan bergegas melakukan operasi semut. Membersihkan semua sampah yang ada.
“Bukannya kill nothing but time?” Nisa mencoba meralat.
“Kuimprovisasi aja, Nis. Kayaknya lebih bagusan membunuh ego daripada membunuh waktu. Hehe..” (Hal: 208).
Pelajaran-pelajaran berharga tentang pendakian diselipkan dengan cantik di dalam novel ini. Bagaimana mereka melakukan survival, cara memperlakukan alam, kesetiakawanan, cara mengendalikan diri dan mengolah ego bagi. Poin-poin tersebut menjadikan novel ini layak dibaca bagi para pendaki atau calon pendaki.
***
September 2015
Diikutsertakan dalam Lomba Menulis Resensi Novel Indiva 2015.
Bagus, teh...semoga menang...kalo resensi itu kelebihannya ditulis, kekurangan juga dituliskah ?
BalasHapusiya Teh, setahu saya kalau resensi itu harus nulis kekurangan dan kelebihannya. jadi kesannya objektif gitu, hehe
Hapusmasih belajar saya ge.. =D
Leave nothing but footprint, take nothing but picture, raise nothing but love :p
BalasHapusAsik bacanya, Lin. Moga menang yaaaa :)
Aduh Papih kenapa bawa2 Lope2 =( akakakkk
Hapusaamiin, makasih, Kang ^_^
Berapa lama membaca novel ini mbak Lina? Bagus resensinya. Palagi ttg dua ketertarikan isi novel yang mbak Lina tulis, saya jadi ingin membuktikannya hihihi thanks mbak. BTW, yang bener survival atau survival Sih? Atau kata yang terakhir itu sudah jadi kata bakunya bahasa? *aslinanya
BalasHapusOke mbak, selamat ya, moga menang lombanya š
Survival end survivel maksud saya š
Hapusitu typo, Teh. hohoho. salah jarinya loh, bukan saya. akakkkkk @@, =D
Hapusitu habis dua hari, teh. diseling kegiatan lain.
HapusInsyaAllah. Aamiin ya Rabb. nuhun doanya, Teteh :)
Thanks for the review :-)
BalasHapusBaca juga review dan unek2 saya sbg penulisnya utk buku ini di: http://azzura-dayana.blogspot.co.id/2016/01/menjawab-rengganis.html
Makasih yaa reviewnya :)
BalasHapusBaca juga unek2 saya di review Rengganis di sini: http://azzura-dayana.blogspot.co.id/2016/01/menjawab-rengganis.html
udah dibaca mba Yana
BalasHapus:)