Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Lina Astuti

Surat ke-27

Buat kakak dan istrinya  Kadang adikmu yang bandel ini menyesal sejadi-jadinya. Kenapa dulu tak mengambil tawaran baik (hingga akhirnya tahu bahwa itu bukan sebaik-baiknya tawaran. Hohoho labil mode on). Tapi aku masih memegang mimpi, aku namai dia dengan ‘Egyp yang lain’. Dengan pencapaian puncak piramid yang lain. Seperti halnya kalian yang bertahan di antara belenggu di negeri orang. Aku harus lebih kuat menghadapi semuanya, dengan segala kegalauan yang bahkan hanya remeh temeh dunia dan kita sepakat menertawakannya, karena perihal ini adalah konyol. Sekonyol-konyolnya alasan yag membuat seorang Lina galau. Seperti dugaan baik kalian. Aku tak akan mundur, meski dengan cara dan jalan yang lain. Berkarya dalam diam mungkin lebih baik. Meski suatu saat akan merindukan jamaah kebaikan. Merindukan mimpi-mimpi yang kubangun dengan susah payah ini. Aku akan berusaha menerima. Karena tugasku hanya taat, kan? Demi mimpi yang lebih tinggi, menjadi seorang yang dicemburui bidadar

Sepenggal Cerita di Sekolah Alam #2

Apa yang lebih istimewa dari bermalam di sekolah selain bisa menikmati sepoi pohon bambu lebih lama? Ah, tentu lebih banyak hal menarik yang bisa dijumpai di sini. Kaki-kaki yang masih lengkap dengan kaos kakinya yang selonjoran di teras dapur, obrolan ringan dengan ustadzah-ustadzah pengabdian sebagai acara lepas kangen karena absen ‘mondok’ di sekolah sekian bulan, atau sekedar melempar wacana memasak apa kita besok pagi untuk sarapan? Menu istimewa kita yang biasa kah? (nasi goreng akhwat, ricycle nasi catering kemarin dengan cabe rawit yang dipetik di kebun belakang dan telur yang diselundupkan dari kulkas), atau nasi uduk dengan porsi ekstra dari warungnya mak Encing atau pilihan lain di warung uduk dekat rumahnya bu Ijah.

Cita-cita Sederhana

Tepat peringatan satu tahun aku mengajar, ingatanku kembali pada memori masa kecil dalam potret buramnya. Saat itu aku masih kelas empat SD ketika mama memaksa diri memasukkanku ke sekolah agama, sekolah kedua bagiku pada waktu itu. Pagi bersekolah di SD negeri, kemudian sorenya pergi sekolah lagi ke madrasah. Namanya MI Muhammadiyah yang jaraknya sekitar satu kilo meter dari rumah. Mama selalu mempunyai alasan terbaik untuk pendidikan anak-anaknya, meski beliau harus rela membanting tulang, menyisihkan upah kuli cucinya yang kadang--untuk makan kami sehari-hari saja masih kurang. Sementara upah kuli serabutan bapak pada waktu itu barangkali hanya mampu membiayai SPP dua orang kakakku saja.

Sebuah Pengantar Surat untuk Presiden RI

Bismillah. Assalamu’alaium warahmatullahi wabarokatuh. Salam hormat, Pak Jokowi. Sebelumnya perkenalkan, nama saya Lina Astuti.

Tarian Pohon Bambu

Belakangan ini saya suka sekali memerhatikan derai tari serimbunan pohon bambu yang tumbuh banyak di halaman sekolah. Jenis tumbuhan yang memiliki bentuk tulang daun memanjang itu kian lihai melambai dari kejauhan, tertepa angin kemudian meniupkan sepoi. Saya akan betah lama-lama duduk di depan kelas atau di pojokan kantor demi memandangi mereka, sesekali mengabadikannya lewat tangkapan kamera handphone milik saya.

Kebaya Mama

Tak ada yang berbeda dari mama sepulangnya beliau dari pengajian ibu-ibu di makjlis taklim dekat rumah kemarin sore. Hanya saja sebuah kantong kresek hitam ukuran sedang yang dihapitnya di ketiak, kini menghadirkan antusias pada sorot matanya. Kantong kresek hitam itu berisi satu stel kebaya putih lengan panjang dengan bawahan rok panjang motif batik berwarna abu kombinasi hitam. Mirip kebaya betawi saya pikir. Di kamar, mama menjembreng satu stel baju yang terlihat resmi itu dan tanpa rasa segan beliau langsung menjajalnya di depan saya. “Gimana, Nut? Bagus enggak?” Awalnya saya hanya memicingkan mata. Sejurus kemudin mengacungkan jempol pada beliau. Ukurannya dan potongannya pas dengan postur tubuh mama yang tidak terlalu pendek dan tidak pula kurus.