Langsung ke konten utama

Sepenggal Cerita di Sekolah Alam #2

Apa yang lebih istimewa dari bermalam di sekolah selain bisa menikmati sepoi pohon bambu lebih lama? Ah, tentu lebih banyak hal menarik yang bisa dijumpai di sini. Kaki-kaki yang masih lengkap dengan kaos kakinya yang selonjoran di teras dapur, obrolan ringan dengan ustadzah-ustadzah pengabdian sebagai acara lepas kangen karena absen ‘mondok’ di sekolah sekian bulan, atau sekedar melempar wacana memasak apa kita besok pagi untuk sarapan? Menu istimewa kita yang biasa kah? (nasi goreng akhwat, ricycle nasi catering kemarin dengan cabe rawit yang dipetik di kebun belakang dan telur yang diselundupkan dari kulkas), atau nasi uduk dengan porsi ekstra dari warungnya mak Encing atau pilihan lain di warung uduk dekat rumahnya bu Ijah.

‘Mondok’ di sekolah juga saatnya menikmati peralihan, dari ramainya anak-anak yang berangsur pulang, kemudian lengang dan  kembali ramai ketika waktunya adzan maghrib berkumandang, karena ada saja keluarga yayasan yang menyempatkan shalat berjamaah di masjid sekolah.

Bagi saya, bermalam di sekolah juga bisa dijadikan sebagai ajang menghilangkan kefuturan. Futur dari ibadah, dari mengerjakan tugas-tugas sekolah, dan futur datang tepat waktu (ups).

Banyak hal menarik ketika datang terlambat ke sekolah, hal yang barangkali tidak akan saya temukan di sekolah manapun di dunia ini. Pada saat langkah pertama turun dari ojek kemudian membuka gerbang, akan ada saja anak-anak yang memburu hanya sekedar untuk ‘salim' kemudian memberondong pertanyaan, “Ibu dari mana, kok telat?”,  “Ibu, tadi aku infaq ke Bu Awal”, “Ibu habis ujian kuliah, ya?” “Ibu, kok hari Minggu gak ada perpustakaan di Karawang?”, “Ibu, aku tadi shalatnya gak bercanda”, “Ibu, tadi si Zaki berantem sama kelas 4” dan celoteh-celoteh menarik lainnya. Saya jadi teringat masa-masa masih duduk di bangku sekolah dasar. Di mana moment bertemu dengan guru, baik di sekolah maupun pada saat berpas-pasan di jalan adalah sesuatu hal yang mendebarkan, segan, takut, sibuk menyusun kalimat untuk menyapa, dan berbagai macam perasaan lainnya. Namun hal itu tidak berlaku untuk anak-anak di sekolah tempat saya mengajar. Mereka cenderung memperlakukan guru layaknya sahabat sendiri, hm...atau mungkin sebaliknya :)

Beberapa hari yang lalu saya terlambat (lagi) datang ke sekolah. Tidak tanggung-tanggug, telatnya setengah hari. Ba’da dzuhur baru tiba di sekolah karena harus berkutat dengan buku-buku sejarah di perpustakaan daerah Karawang untuk bahan tugas kuliah. Datang terlambat ke sekolah berarti banyak moment yang telah saya lewatkan bersama anak-anak. Setelah diberondong salam, salim, dan pertanyaan yang bertubi-tubi dari anak-anak yang berbeda, salah satu anak kelas tiga memberikan saya selembar kertas yang dia genggam hingga menyerupai bola kertas. “Bu Lina, ini surat buat ibu. Jangan sampai anak-anak lain tahu yak!” serunya dengan agak berbisik. Saya memicingkan mata sambil membuka segenggam kertas yang dimaksud, yang kondisinya kusut minta ampun. Kalian tahu apa isi surat itu?

LAPORAN ANAK YANG MENGOBROL PADA SAAT MURODJAAH:

 
Di bawahnya berderet belasan nama anak kelas tiga, yang wali kelasnya adalah saya sendiri. Hal yang menarik adalah kalimat di bawah nama-nama anak yang namanya tercatat sebagai siswa yang mengobrol tersebut, kalimatnnya seperti ini:

YA ALLAH, AMPUNILAH DOSA-DOSA ANAK YANG NAMANYA ADA DI ATAS. AAMIIN.

Duh, ketika membaca kalimat tersebut seketika saya ingin menjadi salah satu orang yang namanya tertulis di kertas itu, supaya bisa sekalian ikut dido’akan agar dosa-dosa saya diampuni. Huhuhu..

Entahlah, walaupun tulisannya gak nyambung awal dan akhirnya, tapi selalu ada cerita yang ingin saya tulis tentang sekolah ini, hehe...


Area Akhwat Only, Sekolah Alam Pakopen
Rabu, 15 April 2015 dini hari

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Tersayang Memang Gak Boleh Sakit

Beberapa hari ini hujan terus, sampai-sampai cucian tiga hari gak kering-kering. Bukannya gak bersyukur. Hujan kan rahmat ya. Tapi kalau curah hujannya tinggi dan turun dalam waktu yang lama jadi khawatir juga kan. Sebetulnya ada hal yang lebih saya khawatirkan dibanding cucian, perubahan cuaca kadang bikin orang-orang gampang sakit. Apalagi kalau sistem imunnya gak bagus ditambah gaya hidup yang gak teratur. Ngomongin gaya hidup yang gak teratur, yang saya inget pertama kali adalah suami. Soalnya kan suami biasa ‘ngalong’ alias kerja malam, sering begadang, dan makannya juga suka gak teratur. Terlebih saya dan suami hubungan jarak jauh, beliau pulang ke rumah setiap akhir pekan. Jadi kesempatan saya buat ngerawat dan ngingetin ini-itu ke suami juga terbatas, paling cuman lewat whatsapp dan telpon. Saya selalu ngerasa kalau orang-orang terdekat sakit itu enggak enak, bukan semata-mata kita jadi repot ngurusin. Tapi rasa khawatirnya itu lho. Gak tega kan lihatnya. Bener ba

Sambal Tempe Ayam Suwir SO GOOD, Variasi Menu Piring Gizi Seimbang

Para emak pasti setuju kalau aktifitas masak-memasak itu menguras empat hal ini: waktu, tenaga, materi, dan pikiran. Saya pribadi sebagai istri dan ibu baru merasakan banget, terlebih di awal-awal pernikahan dan sekarang ditambah punya bayi yang sudah diberi MPASI. Mencari resep baru dan mencobanya seakan menjadi rutinitas saya setiap hari, hal tersebut tentu bertujuan agar bisa mengefektifkan empat hal yang saya sebutkan di atas. Selain itu juga saya menekankan pada menu gizi seimbang supaya kebutuhan gizi saya dan keluarga tercukupi. Kalau dulu, sih, terkenalnya dengan istilah 4 sehat 5 sempurna, ya. Kalau sekarang diganti menjadi menu gizi seimbang. Dilansir dari Official Instagram So Good (3/3/2018), bahwa menu gizi seimbang terdiri dari 35% karbohidrat, 15% protein, dan 50% buah dan sayuran. Karbohidrat dibutuhkan sebagai sumber energi utama, protein berperan penting untuk sistem di dalam tubuh, sedangkan buah dan sayur mengandung vitamin dan mineral sebagai nutris

Resensi Novel Rengganis Altitude 3088

Rengganis, Novel  Tentang Pendakian Judul Buku: Rengganis Altitude 3088 Penulis: Azzura Dayana Penerbit: Indiva Media Kreasi Tahun Terbit: Agustus 2014, Cetakan Pertama Jumlah Halaman: 232 Hal ISBN: 978-602-1614-26-6 Cover Novel Rengganis Dia baru saja menyelinap keluar. Terbangun oleh gemerisik angin yang menabrak-nabrak tenda. Dua lapis jaket membungkus tubuhnya. Satu jaket polar dan satu jaket parka gunung. Tak ada seorang manusia lain pun yang terlihat. Seluruh penghuni kerajaan sang dewi telah tertidur. Pandangannya lurus ke depan. Kemudian, tiba-tiba saja tatapannya berubah menjadi tajam. Sangat tajam. Menatap lekat sesuatu. Atau lebih dari satu. Perlahan-lahan dia berjalan meninggalkan tenda. Meninggalkan teman-temannya yang tidur di dalam tenda. Menjejaki rerumputan basah dalam langkah-langkah pasti. Dermaga itu tujuannya. Mendekati tarikan magnet bercahaya. Memanggil-manggilnya dengan suara tak biasa. Rengganis, pentas apa sebenarnya yang tengah dilangsung