Menatap hujan sore ini dari persegi panjang jendela rumah dengan segala perasaan yang entah, kemudian menatap terasnya yang kotor terkena percikan hujan, mengingatkanku pada bapak, sosok laki-laki yang selama ini amat lihai memendam rindu di dadanya. Ia amat pandai merawat beberapa potong kenangan untuk dibingkai dalam kotak istimewa di hatinya. Dalam jarak yang terbentang, terpisahkan oleh lautan yang gemuruhnya meneriakkan rindu ibu. Rindu yang ibu tebus dengan sepotong suara di ujung telepon pada sela-sela waktu berkebunnya bapak.
Selama liburan sebulan terakhir di rumah, bapak masih dengan sigapnya mengemudikan gagang sapu, menebas segala debu yang menempel di lantai rumah kami. Anak gadisnya yang paling besar di rumahpun kalah sigap soal kebersihan. Bisa dibilang, beliaulah duta kebersihan di rumah. Dan seminggu yang lalu, rumah kembali kehilangan laki-laki yang paling aku cintai itu. Menggoreskan rindu di hati ibu, anak-anaknya, tetangga yang rajin disapanya, dan tentu teras yang berkali-kali ia sapu setiap hari.
“Mang Wandi!” begitu biasanya terdengar teriakan tetangga yang lewat depan rumah, sekedar menyapa bapak. Beberapa hari ini tentu sapaan itu hanya dibalas sahutan ibu atau aku, “Tos angkat deiu si bapaknya,” kataku menjelaskan. Setahun terakhir bapak bekerja di perkebunan sawit milik kakak ipar dari kakak perempuanku yang pertama. Pulangnya tak tentu, kadang tiga bulan, kadang enam bulan sekali tergantung perijinan dan kondisi keuangan beliau.
Mengingat sosok bapak selalu berhasil membawaku pada ingatan masa kecil, waktu di mana aku yang anak tengah—anak ketiga dari lima bersaudara yang tak banyak mendapatkan perhatian ibu. Tapi entah, ibu, kakak-kakak, dan adikku selalu menyebutku sebagai “anak emas bapak”. Mungkin karena kedekatanku dengan bapak tak seperti saudara-saudaraku yang lain. Aku adalah anak gadisnya yang selalu mendapat jatah mencabuti rambut-rambut tipis yang memutih di kepalanya, sungguh tugas yang istimewa, sebab bapak tak pernah memberikan tugas itu kepada saudara-saudaraku yang lain, begitupun dengan tugas menginjak punggungnya sepulang bapak dari ladang. Aku juga anak gadis bapak yang selalu tertarik menandaskan sisa teh manis di cangkir berukuran jumbo milik bapak (hal tersebut yang membuatku menyukai teh dengan segala aroma, rasa, dan kenangan tentang bapak; aku dan masa kecilku). Aku juga satu-satunya anak bapak yang tidak pernah menolak ketika disuruh berbelanja singkong atau ubi di pasar, demi sebuah tradisi keluarga kami ketika hujan. Duduk di ruang tengah, menikmati singkong atau ubi bakar dengan segelas teh manis hangat, hangat sekali.
Suatu hari aku pernah merasakan betapa tersiksanya dianggap sebagai “anak emas bapak” oleh saudara-saudaraku yang lain. Entah dengan alasan apa, kakak-kakakku nyinyir, menganggap bapak pilih kasih padaku dan mereka. Saat itu, aku melakukan hal yang barangkali sungguh menyakiti hati bapak, aku menolak permintaannya yang sederhana, menolak untuk menandaskan sisa teh manisnya sebagai ganjaran aku yang telah menginjak punggungnya yang kelelahan setelah seharian bekerja di ladang. Dengan harapan aku tak lagi dianggap sebagai “anak emas bapak” oleh ibu dan saudara-saudaraku yang lain.
Dan hari ini, rindu kian menyusup ke relung hatiku yang paling dalam, rindu dengan sosok laki-laki lembut namun tegas dengan segala pendiriannya. Laki-laki yang telah mewariskan kegigihan dan ‘kepala batu’nya padaku.
Bapak, lihatlah anak gadismu yang satu ini. Semakin belajar tentang perihnya hidup dengan segala penerimaan serta penolakan dunia padaku. Mulai belajar untuk melembutkan hati. Yang masih keras kepala untuk mencapai apa yang benar-benar aku inginkan.
Esok jika engkau pulang, bolehlah aku buatkan secangkir teh manis untukmu. Tapi jangan lupa sisakan beberapa teguk untukku..
Komentar
Posting Komentar