Tepat peringatan satu tahun aku mengajar, ingatanku kembali pada memori masa kecil dalam potret buramnya. Saat itu aku masih kelas empat SD ketika mama memaksa diri memasukkanku ke sekolah agama, sekolah kedua bagiku pada waktu itu. Pagi bersekolah di SD negeri, kemudian sorenya pergi sekolah lagi ke madrasah. Namanya MI Muhammadiyah yang jaraknya sekitar satu kilo meter dari rumah. Mama selalu mempunyai alasan terbaik untuk pendidikan anak-anaknya, meski beliau harus rela membanting tulang, menyisihkan upah kuli cucinya yang kadang--untuk makan kami sehari-hari saja masih kurang. Sementara upah kuli serabutan bapak pada waktu itu barangkali hanya mampu membiayai SPP dua orang kakakku saja.
Walaupun keluargaku memiliki trac record yang kurang baik di MI itu, kakakku yang sudah lulus satu tahun yang lalu di MI itu sering menunggak SPP, tapi aku tetap disambut dengan baik oleh kepala sekolahnya. Masih ingat betul senyum Pak Udin, kepala sekolah MI Muhammadiyah kala menyambut aku dan kedua kawanku. Waktu itu kami datang di suatu sore bersama orang tua kami masing-masing untuk mendaftar menjadi siswa baru di sekolah yang hanya memiliki dua ruang kelas itu. Sambutannya sungguh hangat, di usianya yang tak lagi muda namun masih meninggalkan raut wajah yang tampan dengan sorot matanya yang khas ketika memandang murid-muridnya, sorot mata yang kadang membuatku takut ketika ditujukkan padaku lama-lama.
Satu-satunya hal yang membuat aku percaya diri berada di sekolah itu karena kemampuan mengajiku, untuk anak-anak seumuranku pada saat itu lumayan bagus. Dengan berbekal iqro enam dan ilmu tajwid yang aku dapatkan dari pengajian di mushola kampung setiap bada maghrib, cukup membuatku diperhitungkan oleh Pak Udin. Beliau menghadiahiku untuk loncat kelas. Selain itu tak ada yang istimewa, aku tumbuh menjadi siswa yang pendiam lagi minder. Minder karena rata-rata anak-anak yang bersekolah di sana berasal dari keluarga yang ekonominya menengah ke atas, sedangkan aku yang hanya anak seorang buruh cuci, tak jarang hanya dilihat dengan sebelah mata. Terlebih ketika ada salah satu dari orang tua mereka yang mempekerjakan ibuku di rumahnya. Masih ingat betul, ketika kawan-kawan sekolah agamaku melewati rumah keluargaku yang hanya berupa bangunan bilik bambu, kecil, dan orang-orang bilang jauh dari kata layak. Mereka memandangku sinis, seakan kemiskinan adalah sesuatu yang menjijikan di mata mereka. Aku tertunduk, entah dengan apa aku ungkapkan kesedihan itu selain dengan diam dan air mata yang berurai. Tak jarang aku mogok berangkat sekolah dengan sebab yang tak dimengerti oleh mama. Ketika itu mama menatapku hangat, mengusap air mataku yang meleleh dengan bajunya dan dengan lembut berkata, “Bombongkeun heula hatena!” (Tenangkan dulu hatinya!). Bila aku tetap membatu, tak kunjung mau pergi sekolah, maka tumpah jugalah air mata mama, jika sudah begitu aku bisa didiamkan beliau seharian. Rasanya seperti berada di dalam penjara, tatapan kesal kakak-kakaku seakan menjelma sorotan mata penghuni sel dengan sinis menatapku. Mama merasa sakit hati ketika anak-anaknya tak mau sekolah. Begitulah mama, sampai sekarang periode adek bungsuku pun demikian.
Kembali ke guru sekolah agamaku. Pernah suatu hari seusai pelajaran imla (dikte huruf arab atau potongan surat Al-qur’an), yang merupakan satu-satunya pelajaran agama kesukaanku selain ilmu tajwid, Pak Udin melontarkan pertanyaan pada kami. “Apa cita-cita kalian, Nak? Boleh bapak tahu?” pertanyaan yang mengundang antusias di mata kawan-kawan sekelas. Satu-persatu kami dipersilahkan menjawab, mulai dari yang duduk paling kanan. Aku yang duduk di bangku paling belakang sebelah kiri mendengar dengan setia setiap jawaban teman-temanku sebelumnya. Ada yang ingin jadi bidan, pilot, tentara, pekerja kantoran, astronot pun ada, dan yang terakhir ada yang ingin jadi dokter anak, sama seperti cita-citaku. Tiba giliranku, aku tersentak sehingga Pak Udin rela mengulang pertanyaannya. “Kamu, Lina Astuti,” beliau memanggil namaku lengkap. “kalau sudah besar, kelak mau jadi apa?” Aku diam sebentar, tertunduk, lalu memberanikan diri menatap mata Pak Udin, menepis segala keraguan. Pada saat itu hatiku berkecamuk seakan tak ingin melihat guruku kecewa mendengar jawaban akhir dari cita-cita anak muridnya, maka dengan mantap aku menjawab,
“Jadi guru, Pak.” Senyum Pak Udin mengembang lebar.
Entah, waktu itu ketika mendengar jawaban kawan-kawanku yang lain, aku melihat ada tatap harapan dari sorot mata Pak Udin. Hingga penghabisan murid yang terakhir menyebutkan cita-citanya dan hanya menyisakan aku seorang, harapan beliau tertumpu padaku. Saat itu aku yakin, Pak Udin berharap ada salah satu dari kami yang menyebutkan profesi beliau sebagai cita-cita. Cita-cita yang tidak ‘wah’ menurut kami pada saat itu, menjadi seorang guru, ya, sesederhana itu barangkali. Dan aku, dengan mencoba membesarkan hati, menepis kalimat indah cita-cita yang sudah lama aku rangkai semenjak belum mengenal bangku sekolah, “Cita-citaku ingin menjadi dokter anak”, begitu ujarku hanya dalam hati, hingga akhirnya membelokkan kalimatku seratus delapan puluh derajat hanya demi mengusir rasa kecewa beliau, “Jadi guru, Pak”.
Setahun yang lalu aku baru menyadari hal ini, bahwa senyum Pak Udin kala mendengar jawabanku yang terpaksa itu adalah sebuah doa yang—barangkali malaikat aminkan untukku.
Ya, Pak. Sungguh. Di satu tahun aku mengajar, cita-cita itu semakin aku tegaskan, bahwa aku ingin menjadi guru, sepertimu. Terima kasih yang tak terhingga.
Awal April 2015, untuk Maret satu tahun yang lalu dan kenangan kelas 4 SD di MI Muhammadiyah.
behh keren
BalasHapusajari gw, hhhh
saya juga masih belajar, Mas Hari. Ayo belajar sama-sama :)
BalasHapus