Memang, di sekolah kami, pohon bambu mendominasi tumbuh dengan subur. Di samping masjid, di belakang kamar akhwat, di samping kelas 5, dan ah tentu yang paling rimbun adalah di 'hutan' belakang sekolah, hutan larangan bagi anak-anak bermain.
"Jangan main di hutan! Nanti badannya gatal-gatal kayak Ghani." Teriakan itu mengudara. Padahal kita orang dewasa tahu, ada tempat-tempat istimewa untuk bermain, tak peduli seberapa bahayanya itu.
"Jangan main ke hutan belakang sekolah! kalau ada orang gila di sana terus kamu di seret lebih dalam ke hutan, gimana?" Seperti tak mau kehabisan ide untuk melarang mereka bermain di sana. Padahal jikalau kita orang dewasa tahu betapa istimewanya tempat 'rahasia' mereka di sana, barangkali akan membuat rencana lain, misalnya menggelar tikar dan duduk santai di bawah pohon bambu sambil menikmati jamuan makan siang, aduhai!
Memandangi pohon bambu melambai tertepa angin kadang membuat saya berfikir banyak hal. Tentang hidup yang damai, juah dari peradaban. Meski di sisi lain saya juga penikmat bingar kota besar dengan segala kesibukannya.
Namun menikmati sepoi pohon bambu adalah keasikan tersendiri. Dihiasi derai tawa anak-anak sekolah alam yang tengah bermain, tak jarang juga mereka rela menemani saya duduk berlama-lama memandangi tumbuhan dari kerajaan Plantae tersebut. Sambil berbagi sekeping biskuit atau sepotong roti yang mereka bawa dari rumah.
Kamu tak akan menyangka, betapa damainya hidup. Dan sungguh, bahagia itu sederhana sekali!
Pakopen, dini hari
17022015
Komentar
Posting Komentar