Bismillahirrahmaanirrohiim.
Kali ini saya mau sedikit berbagi cerita tentang salah satu anak yang membuat saya mengerti tentang arti syukur. Bagi beberapa orang yang dekat dengan saya, barangkali sudah mendengar cerita ini langsung dari mulut saya, bahkan cerita ini berulang-ulang saya ceritakan, seakan tak pernah bosan.
Suatu hari, kelas kami mendapatkan rezeki. Masing-masing dari kami mendapatkan satu box berisi nasi uduk dan sepotong ayam goreng. Ada salah satu anak didik saya di kelas tiga yang tengah syukuran karena kholas menghafal juz 30. Jadilah pagi itu, usai murodjaah di kelas, kami sarapan bersama dengan nasi box tersebut.
Ketika membuka nasi milik saya, seorang anak kelas satu tiba-tiba nongol di samping saung kelas kami. Dengan sapaan dan senyumnya yang khas.
“Bu Linaaa,” sapanya sambil membetulkan letak kacamata.
“Hei, Assalamu’alaikum. Sudah sarapan belum?” kata saya sambil tersenyum.
“Waalaikumsalam. Udaaah, bu,” jawabnya.
“Mau nyicip nasi uduk pake ayam-nya Bu Lina gak?” saya menawarkan.
Anak itu mengangguk, kemudian saya menyuruh dia naik ke saung kelas kami. Kami berbagi nasi uduk tersebut. Saya dan anak itu makan satu box berdua. Hohoho... ada yang mau bilang ini so sweet? :P
Ketika kami sedang makan, tiba-tiba ada anak yang melaporkan temannya yang ketahuan makan sambil berdiri.
“Bu Lina, tuh si itu makan sambil berdiri.” Seorang anak laki-laki melapor dengan setengah berteriak.
“Eh, ya kamu nasihatin atuh!” kata saya.
“Hey, Laa yasrobanna ahadumminkum qooiman,” beberapa anak koor mengeluarkan sebuah hadits yang tulisannya terpampang di samping kelas kami. Janganlah salah satu dari kamu minum sambil berdiri. Kurang lebih begitu artinya.
“Jangan makan dan minum sambil berdiri! Nanti jadi temennya setan.” Yang lain menimpali.
Si anak yang dinasihati temannya langsung duduk dan nyengir sambil ber-hehe.
“Maaf, lupa Bu.” anak itu memberikan alasan.
“Yasudah, tidak apa-apa. Lain kali enggak boleh lupa ya! Harusnya sudah menjadi kebiasaan. Tidak makan atau minum sambil berdiri. Tidak pula makan dan minum dengan tangan kiri.” Sahut saya. anak itu kembali nyengir.
“Bu Lina, Alhamdulillah kalau aku mah gak pernah makan pake tangan kiri,” anak yang makan satu box berdua dengan saya ambil bicara.
“Subhanallah, bagus itu.” Kata saya, memberi pujian.
“Iya bu, soalnya kan emang tangan kirinya gak bisa kalau buat pegang sendok atau ambil makanan.” Kata dia lagi sambil tersenyum dan lanjut memasukkan nasi ke mulutnya.
Mendengar penjelasannya tersebut, saya hanya bisa tertegun kemudian tersenyum kepadanya. Memandang wajahnya yang polos dan anggota tubuhnya yang lain. Ada rasa yang tak bisa saya deskripsikan ketika mengingat kembali kalimatnya di awal. Alhamdulillah, kalau aku mah gak pernah makan pake tangan kiri. Kalimat tersebut penuh dengan rasa syukur, yang barangkali kalau dia mau, sekali lagi saya tegaskan, kalau dia mau, bisa saja dia ganti dengan kalimat penyesalan, misalnya “Ya iyalah, orang tangan kirinya gak bisa dipake makan. Mau-gak mau.” Apalagi anak itu masih kelas satu SD. Tapi dia lebih memilih kalimat dengan penuh rasa syukur. Tegas menerima. Subhanallah.
Ya, anak tersebut menderita, maaf, cacat tubuh di bagian tangan dan kakinya. Meskipun tangan kanannya tidak bisa dibilang normal seperti anak-anak yang lainnya karena tidak memiliki bentuk jari yang sempurna, tapi bentuknya lebih baik jika dibanding dengan tangan kirinya yang sama sekali tidak berjari.
Dalam kalimatnya, anak itu menegaskan, bahwa kekurangan yang Allah karuniakan padanya, menjadi jalan bagi dia untuk taat dan tidak memberikan kesempatan baginya untuk hanya sekedar lupa makan menggunakan tangan kiri. Anak itu benar-benar tahu bagaimana caranya bersyukur.
Saya malu. Dengan fisik yang sempurna, harusnya bisa lebih taat dan bersyukur dibanding anak itu.
Dan diam-diam saya menaruh rasa kagum pada kedua orang tua anak tersebut. Tentu merekalah yang menanamkan sifat dan pola pikir yang baik pada anak itu. Mengajarkan tentang caranya bersabar dan bersyukur dengan apa yang Allah berikan. Saya juga kagum dengan lingkungan yang mampu menerima orang-orang dengan keterbatasan seperti anak itu dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Saya jadi teringat dengan kalimat yang dilontarkan oleh kepala sekolah. Bahwa, yang perlu belajar untuk beradaptasi dengan lingkungannya bukan hanya anak-anak ‘istimewa’ yang memiliki kekurangan, tapi juga orang-orang yang menganggap dirinya ‘normal’ seperti kita. Belajar bagaimana caranya menerima orang-orang ‘istimewa’ tersebut dalam kehidupan kita sehari-hari.
Tidak dengan mencemooh, tidak pula dengan iba yang berlebihan. Mereka tentu ingin diperlakukan sama seperti kita ingin diperlakukan.
Semoga Allah, selalu anugerahkan kepadamu hati yag ikhlas, Nak...
*Buat Ezy :)
September 2015
Komentar
Posting Komentar