Ahad ba’da dzuhur, masjid Aljihad-Karawang mulai lengang ditinggal jamaahnya. Sayup-sayup lantunan tilawah masih terdengar di sudut masjid. Sementara itu, kita duduk berhadapan dan saling bercerita, seperti biasa, bercerita tentang apa saja. Hingga bermuara pada sebuah kisah yang kamu tuturkan kembali padaku... Kisah yang diceritakan oleh ustadz muda yang sama-sama kita ‘gemari’. Terimakasih atas ilmunya, Bungsu. Teteh abadikan dalam tulisan ini. Semoga harapan terbesar kita, jadi muslimah shalihah (ehm), Allah catatkan dan kuatkan untuk mewujudkannya. Aamiin...
***
***
Seorang ustadz muda menceritakan kembali sebuah kisah perjalanan Aisyah binti Abu Bakar radiallahuanha kepada istrinya. Suatu hari, dalam perjalanan pulang usai peperangan, Aisyah binti Abu Bakar yang ikut serta dalam rombongan kaum muslimin, beliau kehilangan kalungnya. Ummul mukminin tersebut menduga, bahwa kalungnya jatuh di tempat pemberhentian mereka yang terakhir. Maka, Siti Aisyah kembali ke tendanya, tempat di mana sebelumnya beliau beserta kaum muslimin beristirahat, demi mendapatkan kembali kalungnya tersebut. Sekian lama ia mencari kalung itu, sementara yang lainnya tak seorangpun yang menyadari kalau istri Rasulullah tersebut tidak ada dalam rombongan.
Ketika menyadari dirinya sudah tertinggal jauh dari rombongan, maka Aisyah radiallahuanha hanya bisa pasrah. Berharap ada rombongan kaum muslimin yang kembali untuk mencarinya. Karena saking lelahnya terlalu lama menunggu, akhirnya beliau tertidur.
Tanpa diduga, seorang anggota rombongan yang bertugas sebagai pasukan paling belakang, Shafwan bin Mu’athal as-Sulami adz-Dzakwani namanya. Ia melihat ada orang yang tertinggal, maka bergegaslah ia menemui orang tersebut. Shafwan sungguh terkejut saat mengetahui bahwa yang tertinggal ialah Ummul mukminin, Aisyah radiallahuanha. Ia pun mengucapkan Innalillahi wa inna ilaihi rodjiun, lantas memeberikan tunggangannya kepada Aisyah. Shafwan menuntun unta yang ditunggangi Siti Aisyah. Hingga akhirnya mereka berdua berhasil menyusul rombonga kaum muslimin yang sedang beristirahat.
Di situlah awal masalah datang. Beberapa orang yang melihat kehadiran mereka berdua, memunculkan desas-desus terhadap hubungan keduanya. Muncul sebuah fitnah terhadap Siti Aisyah radiallahuanha. Mereka menyangka bahwa Aisyah radiallahuanha telah selingkuh dan berbuat zina dengan Shafwan. Karena sebab itu pula, setelahnya Rasulullah menunjukkan sikap yang berbeda terhadap Aisyah. Hingga Allah menurunkan wahyunya dalam surah An-Nur ayat 23.
“Sungguh, orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik, yang lengah dan beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunai dan di akhirat, dan mereka akan mendapatkan azab yang besar.”
Setelah membaca arti dari ayat Al-Qur’an tersebut, saya sungguh kagum dengan Bunda Aisyah, ketika mendapatkan ujian berupa fitnah yang kejam, yang membelanya ternyata bukan dari manusia biasa, namun pembelaannya datang dari Allah langsung. Subhanallah.
Setelah bercerita panjang lebar, ustadz muda itu bertanya kepada istrinya.
“Duhai istriku, jikalau dirimu dalam posisi Aisyah radiallahuanha, apakah kamu akan melakukan hal yang orang-orang itu sangkakan kepada beliau?”
Istrinya menjawab. “Maksudnya berselingkuh dengan Shafwan, begitu duhai suamiku?” Suaminya mengangguk.
Istrinya kembali menjawab. “Tentu saja tidak. Mana mungkin aku berselingkuh, padahal aku sendiri tahu apa yang telah Allah perbolehkan dan mana yang tidak Ia perbolehkan terhadapku. Terlebih suamiku, ialah Rasulullah yang agung.” Demi mendengar jawaban istrinya, ustadz muda itu tersenyum.
“Maka, istriku, jika kamu saja bilang demikian, tidak mungkin berselingkuh jika dalam posisi Ummul mukminin Aisyah, apalagi beliau. Sebab, kita sama-sama tahu, bahwa Asiyah radiallahuanhu tentu jauh lebih shalihah dibanding engkau, bukan?”
Istrinya mengangguk.
“Lalu..” Ustadz itu melanjutkan pembicaraannya. “Jika seseorang bertanya padaku, dengan pertanyaan serupa yang aku lontarkan kepadamu barusan. Duhai, bagaimana jika kamu dalam posisi Shafwan saat menemukan Aisyah seorang diri tertinggal dari rombongan? Apakah kamu akan menzinahinya?”
“Maka dengan tegas aku juga akan menjawab seperti apa yang barusan kamu jawab, wahai istriku. Mana mungkin aku berbuat sesuatu yang Allah telah melarangnya.”
“Jawabanku yang orang biasa saja seperti itu, lalu bagaimana dengan Shafwan yang tentu keshalihannya jauh melebihi keshalihanku?”
Istrinya kembali mengangguk. Pasangan suami-istri tersebut tersenyum, mereka tengah mengambil hikmah dari kisah Aisyah, hikmah dalam konteks yang berbeda dalam cerita shiroh di atas. Bahwa akar dari baik sangka kita terhadap sesama muslim, bahwasanya adalah baik sangka kita terhadap diri kita sendiri. Begitu kalimat penutup sang ustadz. Hikmah yang indah. Indah sekali.
Jadi, kembali ke judul postingan ini (maksa banget sih), Aisyah difitnah, tak perlu dibela! Kita mah tugasnya berbaik sangka aja, kan udah ada Allah yang membela. Lagian gimana mau bela, kitanya juga belum ada pada masa tersebut. hehehe... piss
***
Ah, tuh kan, Bungsu. Ceritamu sungguh membuat teteh lebih mengerti tentang pentingnya berbaik sangka, sekaligus mupeng dengan pasangan suami-istri yang bisa berbagi kisah penuh hikmah berdua, berdua saja. Hehehe... #gagalFokus :P #abaikan #plakkk XD
Wallahualam.
*Re-post
alhamdulillah...ini kisah yang sering dijadikan senjata oleh syiah untuk menjatuhkan bunda Aisyah....seorang istri kesayangan Nabi
BalasHapusiya teh =(
Hapussemoga tulisannya manfaat =D
kayak yang di lagu indung indung tuh ya?
Hapusberbaik sangka.. begitu mudah menuliskannya, namun menerapkannya butuh perjuangan berat :)
BalasHapusAku udah berapa kali baca siroh ini dan masya Allah banyak menemukan hikmahnya ya.
BalasHapusWaaaa....indah banget cara penjelasan sang ustad ya...
BalasHapusTerus