Pagi ini tiba-tiba terlintas untuk menuliskan sesuatu tentang pendidikan anak dan peran orang tua di dalamnya. Jangan berharap tulisannya bakal seperti artikel parenting yang menjabarkan secara panjang kali lebar. Sedikit saja, karena tulisan ini pada dasarnya timbul karena kegelisahan saya sebagai seorang guru, seorang wanita, sekaligus seorang calon orang tua.
Percaya atau tidak, suatu hari, pagi-pagi buta sekali, sekitar pukul tiga dini hari seorang ayah mengantarkan anaknya ke sekolah. What? Jam tiga pagi? Gak salah tuh? Gak salah, ini bener kejadian di sekolah tempat saya ngajar. Pagi-pagi buta, anak laki-laki yang masih kelas enam SD itu dibangunkan, setelah mandi dan membawa tas sekolah, ayahnya mengantarkannya ke sekolah. Sesampainya di sekolah, dengan mata yang masih terkantuk-kantuk anak tersebut mengecek beberapa sudut sekolah. Barangkali ada ustadz atau ustadzah yang memang bermukim di situ yang sudah bangun. Karena hasilnya nihil, akhirnya ia memutuskan melanjutkan tidurnya yang terganggu di masjid sekolah. Seorang diri hingga kumandang adzan subuh.
Pagi harinya ketika mendengar cerita dari si anak soal keberangkatannya ke sekolah yang masih pagi-pagi buta tersebut, konyol! Pikir saya. Apa perlu anak itu diberikan penghargaan siswa terajin? Atau orang tuanya yang (harus) diberi piala karena mengantarkan anaknya sepagi itu? Ah, tiba-tiba saya bertekad untuk menjadi ibu yang baik (kelak). Berusaha menjadi orang tua yang sebaik-baiknya. Ups..
Tidak serta-merta menyalahkan orang tua tersebut, saya tanya alasannya kenapa ia diantarkan sepagi itu kepada si anak. Papah mau ke Bandung urusan kerjaan, jelasnya. Saking tidak adanya sanak saudara yang bisa dititipkan, akhirnya sekolah menjadi pilihan. Ibunya? Alasan klise, tentang drama rumah tangga yang suami-istrinya sibuk mencari uang.
Bukan kali itu saja si anak ‘dititipkan’ di sekolah. Beberapa kesempatan pun, pihak sekolah seakan menjadi korban penitipan anak bagi orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya. Selain kasus anak tadi, ada juga anak yang baru dijemput menjelang shalat isya. Bayangkan betapa bosannya si anak seharian lebih di sekolah. Duh..
Belakangan, seiring makin menjamurnya sekolah-sekolah swasta yang jam belajarnya dikenal dengan istilah fullday school, masuk dan pulang sama seperti jamnya orang kantoran. Seakan menjadi salah satu alternatif bagi orang tua yang sibuk bekerja. Imbasnya, bukan hal yang tak mungkin jika anak-anak merasa haus kasih sayang orang tuanya. Bisa saja dia mendapatkan kasih sayang layaknya orang tua sendiri dari guru-gurunya di sekolah, tapi tentu hal tersebut amatlah berbeda. Jelas berbeda!
Hft... Sebagai calon orang tua, saya harus banyak belajar..
“Maka, menjadi orangtua harus berbekal ilmu yang memadai. Sekadar memberi mereka uang dan memasukkan di sekolah unggulan, tak cukup untuk membuat anak-anak itu menjadi manusia unggul. Sebab, sangat banyak hal yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Uang memang bisa membeli tempat tidur yang mewah, tetapi bukan tidur yang lelap.
Uang bisa membeli rumah yang lapang, tetapi bukan kelapangan hati untuk tinggal di dalamnya. Uang juga bisa membeli pesawat televisi yang sangat besar untuk menghibur mereka, tetapi bukan kebesaran jiwa untuk memberi dukungan saat mereka terempas.
Betapa banyak anak-anak yang rapuh jiwanya, padahal mereka tinggal di rumah-rumah yang kokoh bangunannya. Mereka mendapatkan apa saja dari orangtuanya, kecuali perhatian, ketulusan, dan kasih sayang.
Betapa banyak orangtua yang merasa telah memberi bekal terbaik dengan memasukkan anak-anak di sekolah unggulan. Padahal, yang sesungguhnya terjadi, anak-anak itu sedang dilemahkan jiwanya karena tak pernah menghadapi tantangan, dukungan, dorongan, dan apresiasi yang seimbang. Ibarat ayam, mereka menjadi ayam potong yang mudah patah oleh angin berembus.” (Mohammad Fauzil Adhim)
Hiks sedih banget sih nasib si anak :(
BalasHapusiya mba.. semoga kita (nanti) sebagai orang tua sadar dengan hak anak2 :)
BalasHapus