Sebuah pesan WA masuk di ponselku, “Tak ada cahaya yang mampu remuk, Nut,” .
Kamu memulai obrolan dengan berfilosofi.
“Namun, ada cahaya yang tak mampu memberi sinar,” katamu lagi. Aku mulai mengerutkan dahi.
Kamu ya seringnya begitu. Datang tanpa salam atau tanya kabar terlebih dahulu. Tanpa basa-basi melemparkan kalimat-kalimat aneh, yang seolah-olah kamu tahu sesuatu yang ada dalam fikiranku.
“Cahaya, sinar, maksudnya?” balasku.
“Mudah saja,” lagamu menggampangkan. Padahal aku bekerja keras untuk mencerna kata-kata ‘ajaib’ yang kamu lontarkan.
“Oia, gimana sekolah baru tempatmu ngajar sekarang?” tanpa merasa bersalah telah membuatku penasaran, kamu malah mengganti pembicaraan.
“Ah buodoooo amatan, gue kagak mau jawab.” Aku keki. Mematikan data internet, tak memedulikan kamu.
Tak peduli, tapi nyatanya kalimat itu masih menggantung di ubun-ubun, melayang-layang dengan tanda tanya besar. “Tak ada cahaya yang mampu remuk? Namun ada cahaya yang tak mampu memberi sinar?”
Ah, yasudahlah.
Saatnya berangkat sekolaaaaaah!!
Kamu memulai obrolan dengan berfilosofi.
“Namun, ada cahaya yang tak mampu memberi sinar,” katamu lagi. Aku mulai mengerutkan dahi.
Kamu ya seringnya begitu. Datang tanpa salam atau tanya kabar terlebih dahulu. Tanpa basa-basi melemparkan kalimat-kalimat aneh, yang seolah-olah kamu tahu sesuatu yang ada dalam fikiranku.
“Cahaya, sinar, maksudnya?” balasku.
“Mudah saja,” lagamu menggampangkan. Padahal aku bekerja keras untuk mencerna kata-kata ‘ajaib’ yang kamu lontarkan.
“Oia, gimana sekolah baru tempatmu ngajar sekarang?” tanpa merasa bersalah telah membuatku penasaran, kamu malah mengganti pembicaraan.
“Ah buodoooo amatan, gue kagak mau jawab.” Aku keki. Mematikan data internet, tak memedulikan kamu.
Tak peduli, tapi nyatanya kalimat itu masih menggantung di ubun-ubun, melayang-layang dengan tanda tanya besar. “Tak ada cahaya yang mampu remuk? Namun ada cahaya yang tak mampu memberi sinar?”
Ah, yasudahlah.
Saatnya berangkat sekolaaaaaah!!
Komentar
Posting Komentar