Teringat dengan perkataan Ust. Burhan Soddiq pada acara bedah buku yang saya hadiri beberapa bulan yang lalu, jadi penulis itu harus galau, begitu ujarnya. Saya galau ketika melihat muda-mudi pacaran. Galau ketika melihat pemuda muslim yang gak berani menikah. Galau ketika melihat banyak ketidaksesuaian. Pokoknya galau, bikin gejolak ingin membenahi, pengin meluruskan. Media saya, dalam menanggapi kegalauan tersebut, salah satunya ya dengan menuliskannya. Kurang lebih begitu yang bisa saya tangkap dari perkataan ust. Burhan.
Bagi Ust. Burhan, menulis adalah salah satu media dakwah. Saya sendiri menyebutnya sebagai salah satu media ‘memberi’.
Beberapa tahun terakhir, saya cukup aktif di kegiatan kerelawanan. Berawal dari kepanduan akhwat. Yaitu baris terdepan keamanan para akhwat, meski pada kenyataannya saya tak sekuat srikandi-srikandi shalihah yang keistiqomahannya tak terbantahkan. Selain itu, hobi membaca membangun saya menjadi pribadi yang cenderung suka ‘maksa’ orang lain untuk ikut membaca. Saya akan sibuk me-review buku-buku bagus yang pernah saya baca, dengan harapan orang yang mendengar ‘promosi’ saya tertarik untuk ikut membaca. Hingga akhirnya, saya bersama teman-teman mencetus lapak baca yang kami sebut dengan nama KM.2, FLP Karawang. Sebuah perpustakaan yang digelar seadanya di area car free day setiap Ahad pagi di kota Karawang. Yang terakhir, ajakan seorang teman asal Magetan, menggerakkan kami untuk menduplikasi sebuah gerakan berbagi yang diberi nama Aku Berdonasi.
Dari sekian kegiatan kerelawanan yang saya jalani, saya memupuknya dengan motto yang sering saya ulang-ulang, ialah Bergerak, Berbuat, Semangat! Mengingat tiga kata sakti itu, bagi saya cukup untuk kembali faham pada alasan mengapa saya melakukan ini semua. Menjawab semua pertanyaan mengapa saya harus terus bergerak, berbuat, dan semangat. Meski pada perjalanannya, saya banyak tersandung dengan futur yang teramat.
Namun siapa sangka, berbuat baik, sebut saja sebagai relawan, ternyata bisa bikin galau juga. Dan kegalauan ini yang menyandera saya akhir-akhir ini. Saya dilanda kegalauan dengan bentuk kerelawanan saya selama ini. Dan saya yakini, bahwa ini di luar konteks perihal kata futur yang saya singgung di atas.
Galau ketika menginjak tahun kedua taman baca KM.2, kami masih saja bejibaku dengan hal yang itu-itu saja. Tempat yang itu-itu saja. Di pusat kota. Di tengah santai akhir pekan orang-orang kota, yang bagi mereka-- buku (seringnya) tidaklah menjadi pilihan menarik, meski dipinjamkan secara gratis! Walau begitu, saya masih sangat amat menaruh harapan besar pada buku-buku. Karena buku, dengan segala gagasan penulis di dalamnya, mampu mengubah pola pikir seseorang, bahkan mengubah hidupnya. Saya gelisah karena gerak saya, hanya secuil dan bahkan (hampir) tak tepat sasaran. Saya galau karena mimpi saya yang besar, baru bisa diusahakan dengan gerak usaha yang amat sangat kecil. Kecil sekali. Kadang saya malu, pada orang-orang yang lebih berhak dipinjami buku dibanding orang-orang kota yang selama ini serba dimudahkan.
Saya coba merenungkan kalimat yang keluar dari seorang relawan senior yang tengah mendedikasikan hidupnya pada masyarakat. Bahwa menjadi relawan, jangan bak Santaclause yang datang memberi kotak cantik berisi hadiah, kemudian pergi dengan meninggalkan harapan; tahun depan ia akan diberi hadiah yang lain, begitu seterusnya. Boleh memberi, tapi jangan bangun mental gratisan orang-orangnya. Begitu ujar seorang motivator. Barangkali pernyataan tersebut bisa kita tarik benang merahnya pada kasus pengemis di lampu merah dan di tempat-tempat umum lainnya. Karena alasan iba, dengan mudah kita mampu merogoh kantong dan mengeluarkan receh barang lima ratus atau seribu rupiah. Nominalnya tidak seberapa dan bagi kita mungkin tak ada artinya. Namun, di balik itu, secara tidak langsung kita tengah membentuk mental seseorang. Bahwa mencari uang semudah mencari simpati orang-orang baik hati saja. Sederhana sekali. Hilang rasa malu. Harga diri? Itu menjadi urusan sekian. Maka tak heran jika mengemis menjadi profesi yang menjanjikan. Masih ingat benar, berita yang cukup menghebohkan, ketika pendapatan seorang pengemis mencapai angka jutaan rupiah setiap bulannya. Jauh di atas gaji seorang guru honorer seperti saya.
Saya tahu. Sebagai orang yang menganggap diri sebagai relawan, harus bebenah diri. Memperbaiki bagaimana cara yang tepat untuk memberi. Hal yang awalnya saya anggap sederhana, ternyata serumit ini. Rumit karena terlanjur terbiasa dengan relawan ala Santaclause atau si pembentuk mental gratisan! Kalau begini terus, berhentilah jadi relawan, sekarang!
Untuk diri
Cikampek, 5 Agustus 2015
Bagi Ust. Burhan, menulis adalah salah satu media dakwah. Saya sendiri menyebutnya sebagai salah satu media ‘memberi’.
Beberapa tahun terakhir, saya cukup aktif di kegiatan kerelawanan. Berawal dari kepanduan akhwat. Yaitu baris terdepan keamanan para akhwat, meski pada kenyataannya saya tak sekuat srikandi-srikandi shalihah yang keistiqomahannya tak terbantahkan. Selain itu, hobi membaca membangun saya menjadi pribadi yang cenderung suka ‘maksa’ orang lain untuk ikut membaca. Saya akan sibuk me-review buku-buku bagus yang pernah saya baca, dengan harapan orang yang mendengar ‘promosi’ saya tertarik untuk ikut membaca. Hingga akhirnya, saya bersama teman-teman mencetus lapak baca yang kami sebut dengan nama KM.2, FLP Karawang. Sebuah perpustakaan yang digelar seadanya di area car free day setiap Ahad pagi di kota Karawang. Yang terakhir, ajakan seorang teman asal Magetan, menggerakkan kami untuk menduplikasi sebuah gerakan berbagi yang diberi nama Aku Berdonasi.
Dari sekian kegiatan kerelawanan yang saya jalani, saya memupuknya dengan motto yang sering saya ulang-ulang, ialah Bergerak, Berbuat, Semangat! Mengingat tiga kata sakti itu, bagi saya cukup untuk kembali faham pada alasan mengapa saya melakukan ini semua. Menjawab semua pertanyaan mengapa saya harus terus bergerak, berbuat, dan semangat. Meski pada perjalanannya, saya banyak tersandung dengan futur yang teramat.
Namun siapa sangka, berbuat baik, sebut saja sebagai relawan, ternyata bisa bikin galau juga. Dan kegalauan ini yang menyandera saya akhir-akhir ini. Saya dilanda kegalauan dengan bentuk kerelawanan saya selama ini. Dan saya yakini, bahwa ini di luar konteks perihal kata futur yang saya singgung di atas.
Galau ketika menginjak tahun kedua taman baca KM.2, kami masih saja bejibaku dengan hal yang itu-itu saja. Tempat yang itu-itu saja. Di pusat kota. Di tengah santai akhir pekan orang-orang kota, yang bagi mereka-- buku (seringnya) tidaklah menjadi pilihan menarik, meski dipinjamkan secara gratis! Walau begitu, saya masih sangat amat menaruh harapan besar pada buku-buku. Karena buku, dengan segala gagasan penulis di dalamnya, mampu mengubah pola pikir seseorang, bahkan mengubah hidupnya. Saya gelisah karena gerak saya, hanya secuil dan bahkan (hampir) tak tepat sasaran. Saya galau karena mimpi saya yang besar, baru bisa diusahakan dengan gerak usaha yang amat sangat kecil. Kecil sekali. Kadang saya malu, pada orang-orang yang lebih berhak dipinjami buku dibanding orang-orang kota yang selama ini serba dimudahkan.
Saya coba merenungkan kalimat yang keluar dari seorang relawan senior yang tengah mendedikasikan hidupnya pada masyarakat. Bahwa menjadi relawan, jangan bak Santaclause yang datang memberi kotak cantik berisi hadiah, kemudian pergi dengan meninggalkan harapan; tahun depan ia akan diberi hadiah yang lain, begitu seterusnya. Boleh memberi, tapi jangan bangun mental gratisan orang-orangnya. Begitu ujar seorang motivator. Barangkali pernyataan tersebut bisa kita tarik benang merahnya pada kasus pengemis di lampu merah dan di tempat-tempat umum lainnya. Karena alasan iba, dengan mudah kita mampu merogoh kantong dan mengeluarkan receh barang lima ratus atau seribu rupiah. Nominalnya tidak seberapa dan bagi kita mungkin tak ada artinya. Namun, di balik itu, secara tidak langsung kita tengah membentuk mental seseorang. Bahwa mencari uang semudah mencari simpati orang-orang baik hati saja. Sederhana sekali. Hilang rasa malu. Harga diri? Itu menjadi urusan sekian. Maka tak heran jika mengemis menjadi profesi yang menjanjikan. Masih ingat benar, berita yang cukup menghebohkan, ketika pendapatan seorang pengemis mencapai angka jutaan rupiah setiap bulannya. Jauh di atas gaji seorang guru honorer seperti saya.
Saya tahu. Sebagai orang yang menganggap diri sebagai relawan, harus bebenah diri. Memperbaiki bagaimana cara yang tepat untuk memberi. Hal yang awalnya saya anggap sederhana, ternyata serumit ini. Rumit karena terlanjur terbiasa dengan relawan ala Santaclause atau si pembentuk mental gratisan! Kalau begini terus, berhentilah jadi relawan, sekarang!
Untuk diri
Cikampek, 5 Agustus 2015
Komentar
Posting Komentar